Kamis, 27 Januari 2011

Tujuh

Bagi banyak orang, tujuh itu keramat, penting sekali dalam utak-atik angka keberuntungan. Dalam bahasa Indonesia pun kita mengenal ungkapan-ungkapan seperti tujuh keliling, tujuh bulanan, penujuh hari, sampai tujuh turunan, langit ketujuh, dan bintang tujuh.
Tujuh sudah dianggap istimewa sejak awal peradaban manusia yang lahir di Mesopotamia, negeri di antara dua sungai: Efrat dan Tigris. Ketika imam-imam Sumeria, Akad, Babilonia, serta penerus-penerus mereka di negeri para Firaun sampai ke Laut Tengah di negeri Helen (Gerika) dan menengadah ke langit, mereka melihat bintang-bintang yang selalu beredar tapi tidak pernah pindah tempat satu sama lain seperti titik-titik cahaya di kanvas Ilahi yang bergulir dari Timur ke Barat, tidak pernah berubah, abadi.
Kecuali tujuh! Ketujuh benda langit yang suka berkeliaran itu, yang berpindah-pindah posisi dibandingkan dengan bintang-bintang lain, dari yang paling lincah sampai yang paling lamban—dan karena itu dianggap dari yang paling dekat atau rendah sampai yang paling jauh atau tinggi—adalah Bulan, Merkurius, Venus, Matahari, Mars, Yupiter, dan Saturnus. Oleh orang Gerika, yang tujuh ini disebut planetes, pengembara. Zaman sekarang Matahari dan Bulan tidak lagi dianggap planet dan kita menambahkan Uranus, Neptunus (yang tidak terlihat oleh para ahli perbintangan zaman kuno), serta Bumi sendiri sebagai anggota planet-planet di tatasurya kita.
Ketujuh pengembara itu dianggap beredar di lapisan-lapisan tersendiri di atas bumi. Itulah sebabnya langit pun dianggap berlapis tujuh. Sebagai penghormatan terhadap para planet ini, diciptakanlah sistem penghitungan waktu selama seminggu. Minggu merupakan satuan waktu pertama bikinan manusia, yang masih berlaku dalam kalender internasional sampai hari ini, yang tidak berlandaskan pada peristiwa alam. Ia berbeda dari hari, bulan, dan tahun yang masing-masing berdasarkan rotasi Bumi, revolusi Bulan terhadap Bumi, dan revolusi Bumi terhadap Matahari.
Hari-hari dalam seminggu dinamai menurut planet-planet itu. Itulah sebabnya dalam bahasa Inggris kita masih mengenal hari Matahari (Sunday), hari Bulan (Monday), dan hari Saturnus (Saturday). Dalam bahasa-bahasa Eropa lain, misalnya Italia yang dicontohkan di sini, masih ada hari Mars (martedì), hari Merkurius (mercoledì), hari Yupiter (giovedì), dan hari Venus (venerdì).
Planet-planet di lapisan langit masing-masing bersama dengan rasi-rasi bintang dianggap dewa-dewi yang menentukan kejadian-kejadian dan nasib manusia di muka Bumi—kepercayaan astrologi yang setelah 5.000 tahun masih laris manis sampai sekarang. Karena yang ilahi itu sempurna, angka tujuh pun menjadi angka kesempurnaan. Angka bagus, angka baik yang dinanti-nanti dan dikejar-kejar oleh penganut mistik dan klenik.
Bila dikurangi, angka yang sempurna itu pun menjadi tidak sempurna. Itulah sebabnya enam menjadi angka yang melambangkan ketidaksempurnaan. Dan apabila disebutkan tiga kali, jadilah ia angka paling tidak sempurna, paling sial, paling menakutkan, bahkan angka si jahat sendiri: 666.
SAMSUDIN BERLIAN Pemerhati Makna Kata

2 komentar:

  1. Wah baru tahu, angka 666 ternyata lambang kesialan.

    BalasHapus
  2. Bisa jadi maksud penulisnya (SB) untuk menandingi angka 13 yang sudah sangat kesohor.

    BalasHapus