Abu Suud


Tampil Santri dalam Kampanye

KINI semakin dekat waktu pelaksanaan pilkada. Bekal apa yang telah kita persiapkan? Dulu, waktu pilkada dilakukan oleh DPRD, kita melakukan berbagai pertemuan untuk merumuskan kriteria pemimpin yang baik untuk menjadi kepala daerah. Kemudian kita sosialisasikan kepada khalayak, kita melakukan renungan semalaman, dan berdoa kepada Tuhan, agar para anggota DPRD tidak salah pilih. Padahal waktu itu para anggota DPRD sedang menjalani masa pengasingan di hotel pilihan. Mereka tidak boleh lagi kita hubungi. Kalaupun bisa dihubungi, mereka sudah memiliki komitmen sendiri dengan botoh-botoh yang ada di belakang jago-jago atau calon kepala daerah. Maka, sekhusyuk apa pun doa kita atau renungan kita, tidak bakalan bermanfaat.
Jauh hari sebelum kita membuat rumusan kriteria ideal sosok kepala daerah, hampir-hampir tidak pernah para wakil rakyat itu mau menyisihkan waktu barang sedikit pun untuk bergabung dengan para konstituen yang sedang prihatin dan tengah merumuskan kriteria kepala daerah yang ideal. Terasa ada jurang lebar antara khalayak atau konstituen dengan para wakil rakyat itu yang tengah menjadi anggota DPRD.
Tetapi, itu dahulu, ketika belum dirumuskan ketentuan pilkada langsung. Dulu saya sering menyatakan pesimis tentang manfaat pertemuan atau perenungan menjelang pilkada oleh DPRD. Namun, sekarang, situasi dan kondisinya berbeda. Pilkada akan dilaksanakan secara langsung. Rakyatlah yang akan secara pribadi melaksanakan pemilihan itu. Masihkah ada pesimisme?
Berapa persenkah calon pemilih yang memiliki kesadaran tentang pribadi-pribadi calon wali kota dan wakilnya? Bukan sekadar nama dan partai politik yang menjadi botoh atau kendaraan politiknya. Barangkali tidaklah keliru anggapan, dugaan atau spekulasi kita, bahwa andalan utama bagi para calon adalah parpol kendaraan itu, ketika dihadapkan pada calon pemilih. Nantinya, calon pemilih hanya melihat kendaraan politik yang digunakan. Lalu kita kembali pasrah bongkoan pada kesesuaian citra parpol dengan kualitas calon. Khalayak tidak lagi mempersoalkan komitmen-komitmen atau negosiasi politik yang telah dibina di antara mereka.
Primordialisme Baru
Secara perlahan namun pasti, tampaknya pengelompokan partai-partai di Indonesia ke dalam partai nasional dan partai agama, semakin hilang. Yang dimaksud di sini bukan dalam hal AD/ART, atau visi dan misi setiap partai. Pada sisi itu, barangkali tidak terlalu mudah terjadi perubahan, karena tidak gampang mengubah dari partai berasas agama, yang biasa disebut partai eksklusif, menjadi partai terbuka. Demikian pula sebaliknya.
Kalau begitu, yang dimaksud di sini adalah penampilan para aktivis partai.
Pengalaman menunjukkan, penampilan para kepala daerah dari partai mana pun, senantiasa diwarnai oleh simbol-simbol agama. Sewaktu memulai bicara senantiasa mengucapkan Assalamu'alaikum. Mereka juga tidak ragu-ragu lagi dalam berbusana muslim/muslimah, kalau kebetulan beragama Islam.
Penampilan yang penuh bernuansa Islam itu diperkirakan akan muncul pula dalam setiap kampanye pilkada. Bukan sekadar karena busana nasional kita dilengkapi dengan peci hitam, melainkan dalam perilaku harian mereka juga sangat bernuansa Islami. Tidak lagi terlihat perbedaan dalam penampilan, antara yang dulu sering disebut kaum abangan dengan kaum santri.
Ditemukannya gejala sejumlah calon kepala daerah membagikan Kitab Al-Quran kepada khalayak, menunjukkan simpati kepada sebagian besar konstituen, yang terdiri atas umat Islam. Atau sebaliknya, pemberian itu dimaksudkan untuk mendapatkan simpati dari khalayak akan kedermawanan atau kepeduliannya pada kepentingan umat.
Kita tidak mempersoalkan dari sisi hukum syara'. Perilaku semacam itu ditunjukkan juga oleh Raja Arab Saudi, yang hampir setiap musim haji menghadiahkah Kitab Al-Quran kepada jamaah haji dari mana pun. Barangkali dalam hal ini tidak ada alasan politik, karena dalam pemilihan raja tidak melibatkan jamaah haji. Demikian pula hadiah Surat Yasin dan lain-lain -bagian dari Kitab Al-Quran- yang dilakukan oleh keluarga yang berduka kepada jamaah tahlil.
Lepas dari sisi penilaian syara' maupun UU yang bertalian dengan pilkada atas perilaku mereka, gejala itu membenarkan sinyalemen 'tampil santri' dari para tokoh partai.
Komposisi
Masih dalam konteks penampilan yang bernuansa santri oleh para aktivis partai politik dalam kampanye, kita bisa menyaksikan kecenderungan lain. Pada komposisi calon, misalnya, tampaknya dipandang perlu memasang tokoh santri yang berpasangan dengan kaum nasionalis. Bisa dalam wujud sosok pribadi santri, sosok dari komunitas santri, maupun penonjolan pada sisi santrinya. Misalnya pada penyebutan gelar haji atau hajjah pada tokoh tertentu.
Apakah kecenderungan itu merupakan bagian dari kecenderungan mengeksploitasi simbul-simbul agama untuk kepentingan politik?
Dunia politik memang dunia pragmatis dan merupakan dunia yang penuh dengan serba kemungkinan. Dan seringkali mengabaikan pertimbangan etika dan tepa salira, sehingga seringkali terkesan tega hati. Berbagai perilaku nonpolitik, seperti agama, ekonomi, kemelaratan, musibah, dan sebagainya berpotensi dieksploitasi untuk tujuan-tujuan politik. Tidaklah berlebihan kalau ada yang menganggap, bahwa dalam dunia politik itu "boleh berbohong, tapi tidak boleh salah". Sebaliknya, dalam dunia ilmu "boleh salah, tapi tidak boleh berbohong". Kalau begitu, dapatkah seorang ilmuan berkecimpung dalam dunia politik praktis?
Tampaknya ada kecenderungan menarik dalam pilkada di Kota Semarang, yaitu pasangan-pasangan cawali-cawawali yang tampil merupakan gabungan dua kekuatan sospol yang mencakup kaum nasionalis dan Islam. Pertanyaan berikutnya adalah, dapatkah seorang agamawan atau mubalig berkecimpung dalam dunia politik praktis?
Secara hukum, tidak ada satu pasal pun yang menghalangi para ilmuwan ataupun agamawan untuk memainkan peran sosial politiknya dalam civil society atau masyarakat madani.
Ada anggapan, sebaiknya para ilmuwan maupun agamawan tidak terjun dalam dunia politik praktis, karena mereka akan mengalami ketidaknyamanan ketika harus menghadapi kenyataan dalam proses pengambilan keputusan politik, yang berada dalam kancah pragmatis. Para ilmuwan maupun agamawan itu akan mengalami kesulitan, karena mereka harus berjuang melawan hati nurani.
Kalau tidak kuat, mereka akan terseret ke dalam orbit yang pada tahun 1950-an, yang disebut "pelacuran intelektual". Betapa banyak sosok intelektual kampus maupun agamawan yang ketika menjadi pejabat publik mulai tergoda untuk melakukan manipulasi kebijakan yang mengarah pada tindak korupsi. Pandangan demikian sangat pesimistik.
Sedangkan pandangan yang optimistik beranggapan, bahwa setiap kegiatan sangat tergantung pada faktor pelakunya. Atau dengan kata lain, tergantung man hehind the gun . Optimisme mereka terletak pada kemampuan kaum ilmuan maupun agamawan untuk menerapkan prinsip hidup mereka ke dalam arena pragmatis.
Prinsip mereka adalah "Sak beja-bejane wong kang lali, isih beja wong kang eling lawan waspada".
Masih relevankah prinsip tersebut kita bicarakan sekarang?
Harapan kita adalah agar khalayak berhasil menentukan pilihan bukan secara emosional, melainkan lebih bijak. Kita akan merasa memenangkan sebuah pilkada kalau kita berhasil menempatkan sosok-sosok yang memiliki kematangan dan kekayaan pengalaman berpolitik yang sarat dengan nilai-nilai keobjektifan intelektual dan kemantapan nilai-nilai keagamaan.
(Sumber: Suara Merdeka, Selasa, 7 Juni 2005 - Wacana)
 

Perspektif Historis Puasa

ENTAH memang disengaja atau tidak atau dirancang oleh Allah atau tidak, kalau dipikir-pikir ibadah puasa di bulan Ramadan sangat berkaitan dengan peristiwa manusia di masa lampau. Sejarahwan Mpu Ratnangsah, menurut buku Negarakertagama karangan Mpu Prapanca dari Majapahit, mengatakan sejarah adalah kramaning tuha-tuha atau perilaku orang terdahulu. Dari sudut pandang ini, kalau begitu dapatlah dikatakan puasa Ramadan sangat berkaitan dengan semangat sejarah, dengan kata lain ibadah Ramadan memiliki kemampuan untuk membangkitkan kesadaran sejarah.
Kesadaran pertama tentang peristiwa masa lampau termaktub dalam Surat Al Baqarah, yang seperti wajib dikutip oleh para penceramah kultum dalam rangkaian ibadah tarawih di malam puasa. Di dalam surat tersebut disebutkan, telah diwajibkan pada umat muslimin untuk menjalankan ibadah puasa sebagaimana telah pula diwajibkan kepada umat di masa lampau. Sadarlah kita puasa sebagai sebuah amalan memang dilakukan oleh hampir semua umat beragama, meskipun dengan corak yang bermacam-macam.
Pada intinya puasa itu merupakan tindakan menahan diri dengan menghentikan atau mengurangi perbuatan yang biasanya dilakukan, seperti untuk masa tertentu tidak makan minum atau melakukan hubungan seksual. Banyak sekali variasinya, ada yang mengurangi jenis makanan tertentu atau menghindari melakukan perbuatan selama masa tertentu. Menurut syariat Islam, ibadah puasa justru dilakukan selama bulan Ramadan. Nama ini sudah dikenal di masa pra-Islam. Kata Ramadan berarti masa musim panas sehingga disebut juga sebagai pembakaran. Sampai sekarang para ulama memberikan makna khusus ibadah puasa sebagai upaya pembakaran dosa-dosa di masa lalu.
Dalam ayat berikutnya disebutkan, bulan Ramadan merupakan bulan saat Alquran diturunkan. Alquran merupakan petunjuk bagi umat manusia, sekaligus pembeda atau kriterium untuk membedakan hal-hal yang benar dari hal-hal yang batil.
Termasuk pula Alquran merupakan alat untuk memberi penjelasan dari isi Alquran sehingga disebut Al Furqan atau pembeda. Selanjutnya ayat itu menekankan, barang siapa dalam hidupnya mengalami atau berjumpa kembali dengan bulan Ramadan, maka diwajibkan untuk melaksanakan ibadah puasa. Ketentuan tersebut menunjukkan betapa sebuah peristiwa besar yang memiliki makna strategis bagi pengembangan umat manusia, yaitu peristiwa Alquran diturunkan, yang merupakan peristiwa sejarah yang harus dikenang, harus diperingati, harus diingat selalu, dan cara mengingatnya sudah ditentukan oleh Allah, yaitu menjalankan ibadah puasa.
Di dalam Surat Al Qadar yang menceritakan Lailatul Qadar nyata sekali dijelaskan, peristiwa Alquran diturunkan untuk kali pertama pada satu malam yang dikenal Malam Qadar atau Lailatul Qadar. Saya tidak tahu mengapa Qadar itu biasa diterjemahkan menjadi malam kemuliaan. Di dalam Surat Al Qadar itu disebutkan, Allah telah menurunkan kitab Alquran pada Malam Qadar tersebut.
Ada berbagai pendapat mengenai makna Lailatul Qadar. Pada umumnya pendapat tentang Malam Qadar itu berhubungan dengan pengertian futuristik, yaitu peristiwa-peristiwa yang setiap tahun terjadi di masa-masa lalu dan masa depan. Yang agak kurang biasa dikemukakan pengertian bahwa Malam Qadar itu sebuah peristiwa di malam hari yang terjadi di masa perang. Ketika itu Nabi Muhammad dan pasukannya yang berjumlah lebih kecil mampu mengalahkan serangan musuh dari orang kafir Quraisy yang memiliki kekuatan lebih besar.
Diyakini pada malam itu turunlah pasukan malaikat dari langit yang merupakan pertolongan langsung dari Allah dan berhasil mengalahkan dan memukul mundur pasukan musuh. Di dalam sejarah perjalanan Rasulullah malam itu disebut ''Malam Taqqal Jam'an'', yaitu sebuah peristiwa yang terjadi pada suatu malam, malaikat turun untuk memukul mundur pasukan musuh.
Dari ketiga peristiwa yang termaktub dalam Alquran tersebut dapatlah kita menyaksikan betapa ibadah puasa merupakan salah satu bentuk rasa syukur umat Islam berkaitan dengan peristiwa-peristiwa historis. Tentu tidaklah keliru, kalau ada yang lebih memandang Lailatul Qadar itu sebuah peristiwa untuk menghadapi masa depan. Kalaupun pemahaman itu benar, tepat pulalah anggapan bahwa sejarah yang berasal dari kata ''Sajaro'' yang berarti pohon. Hakikat pohon adalah sebuah tumbuhan yang berakar di masa lampau, tumbuh sebagai sebuah realitas sekarang dan akan selalu tumbuh di masa-masa akan datang.
Sesuatu yang Unik
Sejarah Indonesia ternyata mencatat sesuatu yang unik dan menarik peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan bulan Ramadan. Tanggal 17 Agustus 1945 sebagai saat yang tidak boleh dilupakan dalam sejarah Indonesia. Sebab, proklamasi kemerdekaan Indonesia ternyata terjadi justru di bulan Ramadan, tepatnya hari Jumat, bulan Ramadan, pada saat kaum muslimin melaksanakan ibadah puasa. Barangkali peristiwa semacam itu bisa saja dilupakan, dalam arti tidak berkaitan dengan bulan puasa Ramadan, namun tidaklah berlebihan pula kalau kita memandangnya sebagai sesuatu yang unik. Di dalam Alquran tersebut disebutkan, bulan Ramadan merupakan bulan saat Alquran diturunkan dan setiap Ramadan diwajibkan umat muslimin menunaikan ibadah puasa.
Meskipun tidak termaktub di dalam Alquran bahwa di bulan Ramadan 14 abad kemudian setelah Alquran turun bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, tentu kita patutlah memandangnya sebagai sebuah rasa syukur. Sebagai umat muslimin, kita memandang dengan penuh keimanan, sementara itu sebagai warga bangsa kita pun patut bersyukur pula. Meskipun demikian, peringatan-peringatan HUT Kemerdekaan Indonesia tidaklah diperingati pada bulan Ramadan, tetapi diperingati pada setiap 17 Agustus. Meskipun peristiwa yang bersamaan waktu itu memiliki semangat yang bersifat spiritual bagi umat Islam di seluruh Indonesia. Namun kita tidak perlu memandangnya sebagai peristiwa keagamaan, kita harus memandangnya secara proporsional. Memang benar kaitan antara saat perintah menunaikan ibadah puasa berkaitan dengan peristiwa Alquran turun dan berkaitan dengan peristiwa Lailatul Qadar ataupun Taqqal Jam'an.
Karena itu, peristiwa-peristiwa tersebut memiliki makna keagamaan dan kita pun harus bersikap sesuai dengan ajaran agama, yaitu melaksanakan ibadah puasa Ramadan. Meskipun demikian, ada sesuatu yang amat menarik kalau membandingkan antara peristiwa Nuzulul Quran dan peristiwa Proklamasi Republik Indonesia. Misalnya peristiwa Nuzulul Quran terjadi dalam bulan Ramadan bertepatan dengan umat Islam waktu itu berada dalam kancah peperangan yang menghadirkan peristiwa Taqqal Jam'an, yaitu Perang Badar.
Sementara itu, proklamasi kemerdekaan yang dianggap sebagai pertolongan Tuhan yang memberi dorongan kepada Bung Karno dan Bung Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan, juga terjadi pada bulan Ramadan. Dan tentu detik-detik proklamasi itu terjadi ketika bangsa Indonesia berada dalam masa penjajahan Jepang setelah untuk sementara penjajahan Belanda digantikan oleh penjajahan Jepang. Itu semua merupakan rentetan peristiwa historis baik yang terjadi di masa Rasulullah maupun yang terjadi di masa Proklamasi Kemerdekaan RI pada 14 abad berselang.
Mudah-mudahan sebagai umat Islam dan warga bangsa Indonesia kita bisa membangkitkan kesadaran sejarah lewat pengamalan ibadah puasa. (14t)
(Sumber: Suara Merdeka, Rabu, 12 Oktober 2005 - Nasional)

 

Semangat Pragmatisasi Agama 

SAYA tidak tahu pasti apakah istilah ini tepat atau tidak. Yang dimaksudkan di sini adalah gejala ketika para pemeluk agama (Islam) mulai mencari kegunaan dari pengamalan agama berupa keuntungan yang bersifat kekinian. Dengan kata lain agama mulai diamalkan dengan harapan memberikan dampak keuntungan duniawi, sementara selama ini dipahami bahwa pengamalan agama tidak seyogianya dimotivasi oleh pamrih-pamrih duniawi, seperti kekayaan, perbaikan status sosial, kesehatan dsb.
Dengan bahasa yang lebih idiil selama ini pengamalan agama harus dilandasi dengan keikhlasan atau lillahi ta'ala atau hanya dengan tujuan mendapatkan rida Allah semata. Tentu saja pertanyaan yang muncul kemudian adalah sahkah secara syara' langkah pragmatis yang kita lakukan? Bolehkah atau bisakah dibenarkan secara fikih langkah pragmatis yang kita lakukan? Pantaskah dilakukan secara tasawuf? Atau tepatkah secara akidah langkah pragmatis yang kita lakukan itu, kalau pengamalan agama dilakukan dengan mendasarkan pada motivasi seperti tersebut tadi?
Agama selama ini dipahami merupakan wujud dari semangat idealisme, asketisme, atau semata bersifat rohani. Jadi agama dipandang tidak berada dalam ranah pragmatisme, yang notabene lebih mementingkan kegunaan yang bersifat kekinian. Tidak lain Islam tidak berada dalam dunia profan. Ritus Islam dilakukan tidak untuk mendapatkan daya linuwih seperti yang dilakukan lewat program pelatihan fisik, olah nafas dsb. semacam samadi. Islam juga tidak menawarkan program olah rasa lewat puasa agar diperoleh keunggulan duniawi seperti daya linuwih.
Kalau olah raga dikaitkan dengan perolehan kesehatan jasmani adalah sesuatu yang wajar. Kalau menabung dikaitkan dengan perolehan kekayaan juga sudah sepantasnya. Juga kalau prestasi kerja maupun kemampuan komunikasi dikaitkan dengan keberhasilan kerja tentu saja sesuatu yang masuk akal
. Namun kalau salat dikaitkan dengan perolehan kesehatan fisik, bagaimana? Juga kalau bersedekah dikaitkan untuk tujuan tambahnya kekayaan, atau kesembuhan, bagaimana? Agak berbeda kiranya kalau kerahiman sosial yang dilakukan oleh sesuatu badan usaha yang harus membayar pajak kemudian dikaitkan dengan potongan pajak oleh pemerintah. Itu juga sangat wajar. Mari kita membahasnya.
Amalan dan Rajah
Tentu saja sangat atraktif dan memikat ketika ada suatu metode dalam melaksanakan peribadatan yang memiliki akses untuk mendapatkan keuntungan duniawi sebagai alternatif maupun pelengkap yang selama ini diharapkan diperoleh dari aktivitas profan. Siapa yang tidak terpesona menghadapi tawaran alternatif itu.
Selama ini sudah tertanam dalam masyarakat pemeluk agam Islam, akan adanya tiga prosedur yang selamanya harus secara simultan dilakukan untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat (fi dunya hasanah, wa fil akhirotu hasanah). Ketiganya ialah ibadah, doa, dan ikhtiar. Ibadah ritual untuk mendapatkan rida dan sarana pendekatan pada Allah dan menyampaikan syukur nikmat kepada-Nya.
Doa untuk mengharapkan kerahman-rahiman Ilahi agar harapan terkabul. Ikhtiar untuk memenuhi ketentuan sunatullah dengan melakukan langkah tindakan strategis maupun praktis guna tercapainya tujuan. Ketiga langkah baku itu kemudian disusul dengan sikap berserah diri atau tawakal.
Ternyata masih banyak yang merasa kecewa kalau telah melakukan ibadah dan doa namun belum juga harapan terkabul. Oleh karenanya bagai "tumbu nemu tutup" atau "pucuk dicinta ulam tiba" ketika sejumlah ulama merekomendasikan sejumlah bacaan wirid maupun dzikir bagi kesembuhan penyakit fisik yang dianggap tidak lagi bisa disembuhkan dengan ilmu kedokteran konvensional. Katakanlah itu merupakan ikhtiar pengobatan alternatif.
Lebih menggairahkan lagi umat manusia ketika ditawarkan pula kegunaan amalan tersebut untuk tujuan mencapai kedudukan sosial maupun keberhasilan usaha. Biasanya langkah ikutan yang harus dilakukan adalah pemberian rajah serta air putih sebagai modus.
Praktik semacam itu barangkali bukan hal baru karena sudah ada sejak zaman pra-Islam di tanah air. Kemampuan untuk memberikan rekomendasi itu dikenal sebagai daya linuwih sebagai hasil asketisme yang dilakukan dengan pengamalan puasa tertentu.
Ritus yang Pragmatis
Barangkali gejala yang ini pun sudah ada di masa lampau atau di negeri lain. Gejala itu adalah pemahaman bahwa ibadah shalat, terutama shalat tahajud memiliki kemampuan untuk membuat sehat jasmani. Shalat bukan lagi "sekadar" ditekankan sebagai cara untuk menghindarkan seseorang dari perilaku dosa dan mungkar. Aslinya Alquran menyebutkan Inna shalata tanha 'anil fahsya'a wal munkar. Lantas sekarang "tren baru" itu disebarluaskan secara intensif, baik lewat media cetak berupa buku, maupun program pelatihan shalat tahajud. Kali inipun shalat tidak lagi dikaitkan dengan perolehan ketenangan hati, kepasrahan diri pada Ilahi, maupun manunggaling kawula lan Gusti, melainkan sangat berbeda dengan itu, yaitu keuntungan diri berupa sehat diri, bukan lagi idealisme melainkan pragmatisme yang berkobar dalam diri pribadi. Semboyan mereka antara lain "Hidup sehat dengan tahajud" atau "Shalat: Penyembahan dan Penyembuhan".
Masih ada lagi gejala lain yang menarik, yaitu ketika sedekah atau sodaqoh yang dikaitkan dengan perolehan keuntungan yang bersifat kekinian.
Ada banyak sekali semboyan yang didengungkan untuk menyosialisasikan "tren baru" itu.
Agak sulit kita menahan diri untuk tidak berkesimpulan akan adanya tren pragmatisasi ibadah. Pamrih perolehan keuntungan duniawi berupa menjadi kaya, mudah bayar utang, atau kesembuhan sangat menonjol. Sedekah bukan lagi dilaksanakan dengan semangat kepatuhan pada syara', penyucian diri, atau ketulus-ikhlasan, ataupun solidaritas sosial. Semboyan mereka amat memikat dan pragmatis, seperti banyak ditulis dalam budaya kapitalisme Barat. Misalnya The Miracle of Shodaqoh, The Power of Shodaqoh, atau "Sedekah Memang Ajaib".
(Sumber: Suara Merdeka, Jum’at , 14 Desember 2007 - Wacana)

 

Matahari-Matahari Muhammadiyah

AWAL Juli 2005 ini, Muhammadiyah akan menggelar hajatan akbar siklus lima tahunan. Yakni Muktamar ke-45, di kampus Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Penyelenggaraan muktamar kali ini terkesan mentereng. Seluruh komunitas Muhammadiyah "ditarik" ke Malang, sebuah kota berudara sejuk, dan mengesankan sebuah pamer keberhasilan amal usaha Muhammadiyah, karena diselenggarakan di universitas yang tergolong maju.
Ada semacam maksud tersembunyi, yaitu menyatakan rasa syukur secara terbuka atas kenikmatan yang telah dialami. Komunitas Muhammadiyah diajak untuk menikmati keberhasilan pembangunan Muhammadiyah dalam pelayanan sosialnya. Ini sesuai dengan semangat yang dituangkan dalam Alquran, yaitu Fa amma binikmati rabbika fa haddits". Maka nyatakan rasa syukur itu secara terbuka kepada keluarga besar. Diharapkan ada rasa kebanggaan di kalangan jamaah.
Alasan lain adalah karena usia organisasi dakwah ini telah memasuki usia menjelang satu abad. Lima tahun lagi muktamar akan diselenggarakan di kota tua, tempat organisasi itu didirikan pada tahun 1912, yaitu di Yogyakarta.
Tampaknya warga Muhammadiyah ingin menunjukkan rasa syukur itu dengan sebuah harapan, dalam menyongsong usia satu abad itu dengan peranan yang lebih nyata, yaitu membawa pencerahan peradaban. Begitu yang tertera dalam tema muktamar. Semoga muktamar tidak terkena imbas tren yang tengah berkembang, yaitu fenomena "perpecahan".
Seperti diketahui, berbagai muktamar yang diselenggarakan oleh ormas maupun orpol akhir-akhir ini sangat diwarnai persaingan antarkubu secara kurang elegan.
Seluruh anak bangsa berharap Muhammadiyah akan memulihkan kembali kepercayaan bangsa, bahwa tren itu tidak berlanjut. Artinya, pergantian pemimpinnya tidak mengalami kekisruhan dan ketidakikhlasan.
Ke Profesor Doktor
Sampai sekarang masih terkesan Muhammadiyah merupakan organisasi kaum modernis. Dan ada asosiasi, modernitas itu ditandai dengan kepemimpinan yang dipegang oleh sosok kaum terpelajar berpendidikan Barat. Katakanlah yang memiliki gelar kesarjanaan dari pendidikan umum maupun agama, yang bergelar profesor dan doktor. Benarkah itu?
Kalau kita hanya melihat selama tiga periode muktamar terakhir, yaitu muktamar di Aceh dan muktamar di Jakarta, barangkali asosiasi itu benar. Muktamar ke-43 di Aceh telah menempatkan Prof Dr Muhammad Amien Rais menjadi ketua PP Muhammadiyah. Kemudian Muktamar ke-44 di Jakarta telah menempatkan Prof Dr Ahmad Syafii Maarif sebagai ketua PP. Akankah tren itu terus berlanjut, sehingga kemudian mereka melirik pada sosok bergelar profesor yang siap menjadi pemegang tampuk pimpinan tertinggi?
Persyaratan semacam itu sama sekali tidak ada. Namun pada tingkat PP saja, kita bisa menyebutkan nama-nama, seperti Din Syamsudin, Amin Abdullah, Malik Fadjar, Ismail Sunni, Suyatno, Yahya Muhaimin, A Munir Mulkan, Zamroni, Abdulrahim, Bambang Sudibyo, Umar Jenie, dan sebagainya yang bergelar profesor dan doktor. Kalau di antara mereka itu berkiprah di perguruan tinggi Islam, apakah mereka tidak pantas disebut juga kiai haji (KH)?
Gejala semacam itu pernah terjadi pada tingkat PW Muhammadiyah Jawa Tengah dua periode yang lalu. Di saat itu seorang kader bergelar profesor doktor dari latar belakang pendidikan umum telah menduduki posisi kepemimpinan PW Muhammadiyah, setelah lebih dulu memegang jabatan sebagai ketua Majelis Dikdasmen. Jabatan sebagai ketua PW itu meneruskan periode para kiai haji pada periode-periode sebelumnya, yaitu KH Rosyidi, KH Suratman SP, maupun KH Abu Hamid.
Secara lebih fenomenal, pada tingkat PP, selama 85 tahun dan selama 42 muktamar, Muhammadiyah dipimpin oleh para KH. Ada sebelar sosok kiai haji yang memimpin Muhammadiyah yang dikenal sebagai organisasi kaum modernis itu. Oleh KH Jarnawi, mereka, plus dua orang sosok profesor doktor itu, dijuluki sebagai "Matahari-matahari Muhammadiyah".
Sebagaimana kita ketahui, organisasi gerakan dakwah yang menjuluki diri sebagai organisasi mujadid atau kaum pembaharu itu telah memilih matahari sebagai lambang organisasi.
Para matahari dari gerakan dakwah itu adalah: (1) KH Ahmad Dahlan, (2) KH Ibrahim, (3) KH Hisyam, (4) KH Mas Mansur, (5) Ki Bagus Hadikusumo, (6) KH AR Sutan Mansur, (7) KH Yunus, (8) KH Ahmad Badawi, (9) KH Faqih Usman, (10) KH AR Fahrudin, (11) KH Azhar Basir, (12) Prof Dr Haji Muhammad Amien Rais, dan (13) Prof Dr H Ahmad Syafii Maarif.
Kalau kita hitung, maka 10 orang bergelar KH, satu orang bergelar tradisional Jawa, yaitu Ki, dan dua orang bergelar profesor doktor.
Tradisi Muhammadiyah
Namanya saja tradisi. Artinya, tapak langkah yang diikuti oleh pejalan di belakangnya, terutama kalau kita berjalan di semak-semak atau di jalan setapak. Meskipun demikian, tidak ada aturan resmi perilaku dalam suatu komunitas. Misalnya dalam proses suksesi atau pergantian kepemimpinan sesuatu organisasi, ada sejumlah kebiasaan atau perilaku yang nyaris ajeg. Secara formal, barangkali tatanan itu tidak disebutkan. Misalnya tentang latar belakang pendidikan, latar belakang sosial budaya, maupun latar belakang etnik calon pemimpin Muhammadiyah pada level mana pun, tidak pernah disebutkan. Meskipun demikian, ada sejumlah gejala menarik dalam proses suksesi.
Berbeda dengan di NU, Muhammadiyah tidak memiliki pasangan kepemimpinan seperti pada jamiyah NU. Pada NU kita mengenal adanya duet rais aam dan ketua umum tanfidziyah. Muktamar NU di Donohudan pada tahun 2004 telah memilih KH Hasyim Muzadi sebagai ketua umum tanfidziyah, dan KH M Sahal Mahfudh sebagai rais aam.
Yang selama ini kita saksikan adalah bahwa yang menduduki rais aam hampir pasti berasal dari kaum ulama dan bergelar KH. Meskipun demikian, ketua umum tanfidziyah bisa juga dari sosok bergelar KH. Hal ini bisa dimaklumi, karena secara harfiah maupun semangat, Nahdlatul Ulama adalah kebangkitan para ulama. Dan ulama di Indonesia ditandai dengan gelar keulamaan, seperti kiai haji (KH).
Di Muhammadiyah, kepemimpinan itu tidak secara struktural berpasangan. Kepemimpinan dalam Muhammadiyah bersifat kolegial di antara kelompok kepemimpinan yang berjumlah 13 orang yang terdiri atas berbagai latar belakang.
Hal menarik yang nyaris setiap kali muncul adalah perpaduan antara "kubu Yogyakarta" dan "kubu Jakarta". Barangkali Muhammadiyah adalah satu-satunya or4ganisasi yang bersifat nasional yang memiliki dua kantor pimpinan pusat sekaligus. Setiap hari kita biasa menyebut adanya PP Yogyakarta dan PP Jakarta. Kota Yogyakarta selalu menjadi pusat kegiatan organisasi. Sementara itu, Jakarta dianggap sebagai pusat kedua kegiatan organisasi, karena terletak di ibu kota negara.
Domisili pengurus PP tidak ditentukan. Rapat lebih sering diselenggarakan di Yogya. Namun berbagai kegiatan organisasi yang berkaitan dengan hubungan nasional maupun internasional dilakukan di kantor PP Jakarta, yang bertempat di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah di Jakarta.
Sementara itu, tidak bisa ditepis adanya semacam anggapan adanya dua pusat kekuatan SDM dalam Muhammadiyah. Karena alasan domisili dan tugas serta posisi sosial seseorang, para SDM berada di dua kota yang terpisah itu. Oleh karenanya, secara budaya muncul penyebutan istilah "Kubu Yogya" dan "Kubu Jakarta".
Dalam proses suksesi pada setiap muktamar, tak ayal sering muncul pelabelan tadi, yaitu "Kubu Yogya" dan "Kubu Jakarta". Namun, itu semua hanya berada dalam tataran seloroh. Seloroh semacam itu juga muncul dalam label "Kubu Kauman" atau bukan.
Beberapa tokoh yang menjadi ketua PP memang berasal dari "trah Kauman", seperti pendiri Muhammadiyah, yaitu KH Ahmad Dahlan yang memang berasal dari Kauman Yogyakarta. Dan sejarah mencatat, hanya tiga sosok non-Yogyakarta menjadi ketua PP. Mereka adalah KH Mas Mansur yang berasal dari Kudus, KH AR Sutan Mansur, dan Prof Dr A Syafii Maarif, yang berasal dari Sumatera Barat. Mungkin masih ada juga yang lain.
Namun demikian, mereka pun sudah mengalami semacam "Yogyanisasi" seperti dialami oleh Prof Dr A Syafii Maarif yang sejak sekolah menengah ia belajar di Yogyakarta.
Yang perlu diingat adalah bahwa sebenarnya semangat pengubuan itu hanya ada dalam wacana yang bersifat seloroh.
Orang-orang Muhammadiyah sebentar lagi akan melakukan proses suksesi secara damai, konstitusional dan anggun, seperti yang selama ini berlangsung.
(Sumber: Suara Merdeka, Kamis, 30 Juni 2005 – Wacana)

 Karya Arsitektur Gubernur Jateng

BANYAK bangunan arsitektur yang indah dan monumental yang dikaitkan dengan tokoh penguasa. Barangkali hanya karena ia memiliki gagasan untuk pembangunan itu. Monumen Taj Mahal di India dikaitkan dengan Sultan Sah Jahan dan Menara Qutuba Minar dikaitkan dengan Qutbudin Aibak sebagai penguasa di saat itu.
Masjid Istiqlal di Jakarta selalu dikaitkan dengan Bung Karno yang memiliki gagasan untuk membangun masjid yang monumental itu sebagai peringatan atas kemerdekaan Indonesia. Kita tahu bahwa Istiqlal berarti kemerdekaan Indonesia. Istiqlal berarti kemerdekaan.
Di kota Semarang juga terdapat sejumlah bangunan yang dikaitkan dengan tokoh yang sedang berkuasa. Misalnya Masjid Besar Kauman dikaitkan dengan Pangeran Pandanaran bupati pertama di Semarang. Masih banyak lagi bangunan indah dan monumental di Semarang dikaitkan dengan gubernur Jawa Tengah yang berkedudukan di Semarang.
Tulisan ini menampilkan sejumlah bangunan yang didirikan oleh atau atas prakarsa atau atas perintah gubernur selama masa pemerintahannya. Ternyata hampir setiap gubernur menunjukkan kepeduliannya untuk menghiasi Semarang dengan bangunan indah dan monumental.
Tidak banyak yang mengetahui dengan pasti bangunan tersebut dibangun atas prakarsa siapa atau dibangun dalam masa kepemimpinan gubernur yang mana. Orang menganggap Tugu Muda, Lawangsewu dan Wisma Perdamaian di Jalan Pemuda merupakan tengara-tengara kota atau land - mark bagi kota Semarang, seperti halnya Monas maupun Masjid Istiqlal merupakan tengara kota Jakarta.
Selain bangunan itu sebetulnya Semarang memiliki sejumlah bangunan yang bisa pula dianggap sebagai tengara kota, seperti Masjid Baiturahman, Gedung Berlian, maupun Masjid Agung Jawa Tengah.
Yang menarik, bangunan tersebut didirikan oleh pemerintah provinsi Jawa Tengah. Masing-masing bangunan itu memiliki keunikan sendiri. Kapan bangunan itu didirikan? Dalam masa kepemimpinan siapa yang menjadi gubernur?
Semangat tulisan ini adalah untuk mendapatkan masukan dari berbagai pihak untuk melengkapi informasi yang akurat, sehingga lengkap untuk menjadi sebuah buku.
Masjid
Di Semarang terdapat banyak sekali masjid yang memiliki keistimewaan dan nilai arsitektur tinggi. Masa sebelum kemerdekaan telah menghadiahkan masjid Besar Kauman, yang merupakan monumen berkaitan dengan sejarah berdirinya Semarang. Sejak memasuki masa kemerdekaan sejumlah gubernur telah menghiasi kota dengan beberapa masjid yang unik.
Di tengah kota Semarang, di kawasan bisnis yang dikenal sebagai kawasan Simpang Lima pada tahun 1974 berdiri sebuah masjid megah berlantai dua, dengan arsitektur Jawa, yang ditandai dengan bentuk atap limasan. Bahkan pada bagian interior yang digunakan sebagai mihrab dan mimbar dibangun pula sebuah atap joglo sebagai aksesoris.
Simpang Lima pada masa itu dijadikan sebagai kawasan budaya oleh gubernur Munadi. Di masa gubernur penggantinya dengan perlahan namun pasti kawasan budaya itu berubah menjadi kawasan bisnis.
Di bekas bangunan GOR (Gedung Olah Raga) kini berdiri Hotel Ciputra dan pusat perbelanjaan Pasaraya Citraland. Di bekas Gedung Pertemuan Wisma Pancasila dibangun pusat perbelanjaan Matahari.
Sementara itu bekas Pasaraya Mikey Morse (kini perbelanjaan elektronik Court ) telah banyak kali berganti pemilik, namun masih tetap untuk pusat perbelanjaan. Pusat perbelanjaan Ramayana, dulunya gedung bioskop Gajah Mada. Sementara itu kompleks pendidikan STM Pembangunan masih tetap bertahan.
Yang sampai sekarang berdiri pusat perbelanjaan dan perkantoran Gajah Mada Plaza semula disediakan untuk museum Jawa Tengah Ronggowarsito. Sampai sekarang orang masih was-was kalau-kalau kompleks Masjid Baiturahman akan disulap menjadi pusat perbelanjaan.
Di bagian belakang kompleks kantor gubernuran pada awal tahun 1990 an berdiri bangunan masjid berlantai dua, meski tidak begitu besar. Nampaknya masjid itu disediakan untuk karyawan gubernuran serta para tamu gubernuran. Masjid itu nyaris tidak terlihat dari jalan besar Menteri Supeno, karena tertutup oleh bangunan serba guna berlantai lima yang dikenal sebagai Gedung Dharma Wanita.
Bangunan-banguan itu didirikan di masa gubernur Suwardi, yang dinilai sebagai gubernur yang paling banyak membangun gedung.
Di masa gubernur itu pula dibangun kompleks asrama Haji Donohudan yang dibangun di dekat Bandara Adisumarmo Surakarta. Tentu saja dalam kompleks untuk fasilitas peribadatan itu berdiri pula sebuah masjid bagi jamaah haji.
Pada penghujung tahun 2005, selesai dibangun Masjid Agung Jawa Tengah terletak di Jalan Gajah.di masa gubernur Mardiyanto.
Masjid tersebut memiliki berbagai fasilitas publik atau jamaah yang juga serba unggul. Ada auditorium serba guna yang berdesain mewah. Ada ruang perpustakaan lengkap dengan ruang pertemuan ilmiah. Ada juga selasar terbuka semacam teater di depan ruang tertutup masjid.
Selasar itu bisa dikembangkan menjadi ruang tertutup karena memiliki payung fleksibel. Masih tersedia pula asrama atau penginapan bagi rombongan peziarah spiritual ke pusat-pusat ziarah makam para wali Masjid itu. Di sebelahnya berdiri menara dengan lantai atas yang bisa berputar yang berfungsi semacam menara pengintai pemandangan kota.
Kompleks Pemerintahan
Entah siapa yang merancang lokasi pusat perkantoran pemerintah, yang mencakup pemerintahan provinsi dan berbagai instansi, seperti kepolisian, kejaksaan, kehakiman, perdagangan maupun departemen lainnya, berada dalam satu jalan. Jalan itu juga dirancang sebagai sebuah boulevard, yang disebut Jalan Pahlawan.
Panjang jalan itu relatif pendek, sekitar setengah km dan membujur lurus dari selatan ke utara. Jalan itu menjatu dengan Lapangan Simpang Lima, yang merupakan pusat berbagai acara keramaian rakyat maupun upacara bendera tingkat Jawa Tengah.
Dimulai pembangunannya awal 1970 an, masa gubernur Munadi. Muhamad Ismail yang meneruskan kepemimpinan sebagai Lurahe Jawa Tengah mengembangkan Wawasan Identitas Jawa Tengah telah memperluas kompleks perkantoran Setwilda atau yang sering disebut gubernuran dengan Wawasan Identitas Jawa dengan ciri serba joglo.
Semangat itu telah menghasilkan rangkaian tiga bangunan yang terdiri dari gedung pertemuan umum Gradika Bhakti Paja, bangunan Setwilda, dan Gedung Berlian sebagai pusat kegiatan para wakil rakyat.
Pada masa gubernur Suwardi Wisma Perdamaian di kompleks Tugu Muda dilengkapi dengan tambahan dua bangunan. Gagasan itu nampaknya mengabaikan berbagai kritik warga masyarakat, yang menganggap bahwa corak dan gaya arsitektur bangunan tambahan tidak serasi dengan bangunan Wisma Perdamaian.
Kompleks bangunan itu yang semula dimaksudkan sebagai kediaman resmi gubernur tidak difungsikan dengan benar. Sejak semula gubernur tidak pernah berkediaman di kompleks itu, dan gedung hanya dipergunakan untuk menyelenggarakan pertemuan, termasuk untuk lokasi tarawih warga masyarakat selama bulan Ramadan.
Gubernur Mardiyanto hanya menempatinya selama masa bakti pertama, dan untuk selanjutnya lebih memilih Wisma Puri Gedeh. Namun acara open house dalam acara Hari Raya Idul Fitri tetap diselenggarakan di sana.
Masih ada beberapa bangunan untuk fasilitas pemerintahan provinsi, seperti Bappeda di J
Jl Pemuda Dipenda di Jl Imam Bonjol, serta gedung Samsat di dekat batas kota sebelah barat. Secara arsitektur bangunan-bangunan itu nampaknya tidak mengandung keunikan tertentu, sehingga tidak dimaasukkan sebagai karya arsitektur yang perlu diabadikan, meski memiliki kegunaan praktis tinggi.
Wisata dan Olah Raga
Masih ada dua bangunan milik provinsi Jawa Tengah di Semarang yang memiliki nilai arsitektur cukup membanggakan. Yang satu merupakan fasilitas wisata serba guna, yang dikenal sebagai kompleks PRPP. Yang kedua merupakan fasilitas olah raga, yang dikenal dengan nama GOR Jatidiri. Keduanya dibangun di masa gubernur Muhamad Ismail. Semangat Wawasan Jatidiri dari lurahe Jawa Tengah sangat melekat pada kedua bangunan serba guna tersebut. Sebagai fasilitas wisata gubernur leluasa memberi corak arsitektur Jawa, yaitu atap joglo menjadi ciri khas bangunan utama, yaitu Merapi dan Merbabu. Kedua-duanya menggunakan atap joglo serta desain interior yang bernuansa Jawa pula.
Kegunaan kompleks bangunan itu disamping sebagai gelanggang promosi dagang yaitu Pekan Raya Pembangunan dan Promosi, bangunan utama biasa disewakan untuk penyelenggaraan resepsi pernikahan.
Dalam kompleks tersedia fasilitas wisata, yang dikenal dengan nama Maerakaca. Unit itu merupakan semacam Taman Mini Jawa Tengah Indah, lengkap dengan anjungan-anjungan berupa bangunan-bangunan yang merupakan tengara kota yang mewakili kekhasan 35 kabupaten / kota se- Jateng. Di sana juga tersedia berbagai fasilitas untuk rekreasi dan wisata air.
Fasilitas kedua adalah GOR Jatidiri. Nama GOR itu Jatidiri merupakan cerminan semangat dari gagasan gubernur Ismail. Kali ini bentuk fisik bukan atap joglo, melainkan pengabadian nama semangat itu, yaitu jatidiri. Obsesinya untuk memberikan ciri atap joglo pada setiap bangunan publik.
Sebagai penutup tulisan, penulis sampaikan agar gagasan gubernur Mardiyanto segera mempersembahkan gedung perpustakaan untuk menunjang perkembangan keilmuan dan peradaban, sebelum masa bakti sebagai gubernur berakhir, segera terwujud. Kita harapkan pula agar secara arsitektur bangunan itu memancarkan nilai tinggi dan monumental. Semoga.
(Sumber: Suara Merdeka, Kamis, 05 Januari 2006 WACANA)