Selasa, 05 April 2011

Koin

Di jalan raya kini kerap ditemui koin-koin rupiah dengan nilai nominal kecil: 50; 100; dan 200. Koin rupiah dengan nilai nominal tertinggi 1.000, masih bisa membeli kerupuk atau sepotong pisang goreng. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan koin sebagai ”mata uang logam”. Secara faktual di Indonesia koin adalah mata uang dengan nilai nominal dan nilai riil yang sifatnya recehan.
Menurut sebuah sumber, mata uang pertama di dunia berbentuk koin, muncul pada 700 SM di Pulau Aegina atau 650 SM di Lydia, keduanya di Yunani. Tentu saja koin pertama di dunia ini bukan uang recehan.
Koin-koin dengan nominal terkecil tak bisa dipakai untuk membeli apa-apa. Karena itu barangkali sebagian orang enggan menyimpannya di dompet dan membuangnya di jalan-jalan. Saya selalu memungutnya karena merasa terhina dan sedih melihat uang rupiah diperlakukan sebagai barang tak berguna.
Tiga tahun berturut-turut koin rupiah ternyata mencatat perjuangan yang cukup heroik. Ia tak hanya menjadi alat tukar, satuan pengukur nilai, alat investasi, tetapi juga lambang perjuangan. Ia tak hanya bernilai ekonomi, tetapi juga simbolik. Seorang rekan Facebook baru-baru ini mengingatkan koin ”sebagai lambang perlawanan”—dan menemukan aktualitasnya melalui ungkapan, melalui bahasa.
Pada 2009 gerakan ”Koin Prita” menyita halaman media massa dalam waktu relatif lama. ”Koin Prita” adalah pengumpulan koin dengan nilai nominal terkecil, digerakkan pengguna media jejaring sosial untuk membayar vonis denda pengadilan sebesar Rp 204.000.000. Gerakan koin ini merupakan ungkapan solidaritas dan perjuangan demi keadilan bagi Prita Mulyasari yang dituduh mencemarkan nama baik sebuah rumah sakit.
Pada 2010 muncul gerakan ”Koin Bilqis”. Bilqis Anindya Passa berusia 1,5 tahun mengidap kelainan saluran empedu, atresia bilier. Untuk menyelamatkan hidupnya, Bilqis harus menjalani operasi transplantasi hati berbiaya sekitar Rp 1 miliar. Lagi-lagi, digerakkan media jejaring sosial, masyarakat menggalang pengumpulan ”Koin Bilqis”.
Belakangan ada dua gerakan pengumpulan koin yang sedang berjalan. Pertama, ”Koin Darsem” yang berlangsung di beberapa kota. Darsem seorang tenaga kerja Indonesia asal Subang yang didenda Rp 4,7 miliar agar bebas dari vonis hukuman mati oleh pengadilan Arab Saudi. Kedua, gerakan ”Koin Sastra” untuk mencegah Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin ditutup akibat ketiadaan dana pengelolaan. Di Hongkong (1958) dikenal gerakan ”Koin Terkecil” oleh kaum perempuan demi keadilan, perdamaian, dan kesejahteraan perempuan.
Yang menghebohkan adalah ”Koin SBY”. Pengumpulan koin terjadi setelah SBY
mengeluh bahwa sejak menjadi presiden, gajinya tak pernah naik. Mahasiswa dan aktivis sosial lalu menggelar aksi pengumpulan ”Koin SBY”. Kotak koin pun dipajang di ruang sebuah komisi DPR. Berbeda dengan gerakan koin sebelumnya, ”Koin SBY” menjadi ungkapan protes sosial. Siapa bilang koin sebatas mata uang logam atau uang receh?
Kamus belum mencatat koin pernah digunakan membentuk ungkapan. KBBI Edisi Keempat (2008) hanya menyediakan satu baris untuk lema koin, yakni bahwa ”koin: mata uang logam”. Adapun lema uang terdiri dari 217 baris dan sangat kaya dengan (110) ungkapan seperti uang dengar, uang kaget, uang ketat, uang komisi, uang pelicin, sampai uang tutup mulut.

Penulis: Rainy MP Hutabarat, Cerpenis
Sumber: KOMPAS, 1/4/2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar