Jakob Sumardjo

Makna Kesatuan Indonesia

Yang merusak kerukunan persaudaraan, merusak dirinya sendiri,” begitu kata RM Sosrokartono, kakak kandung RA Kartini.
Sosrokartono (1877-1952) adalah pejuang pergerakan nasional sejak tahun 1925 dan pejuang anti-pendudukan Jepang. Dia bersahabat dengan Soekarno, Setiabudhi, Dr Cipto Mangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantoro. Dia juga juga dikenal dan dikenang rakyat kecil sebagai ”dokter” penyembuh segala penyakit hanya dengan air putih.
Sosrokartono dicaci maki oleh dokter-dokter Belanda sebagai penipu, tukang jual obat, dukun. Namun, Sosrokartono mengatakan, ”Yang saya pegang teguh adalah agama saya, Islam dan kejawen saya.” Dia dikenal jujur, menolak pembayaran apa pun, sama sekali tidak kaya, dan wafat sebagai bujangan. Beliau sangat rajin berpuasa.
Kita tidak menyangka Sosrokartono adalah seorang sarjana kesusastraan Timur di Leiden yang menguasai 17 bahasa Eropa dan sembilan bahasa daerah di Indonesia serta bahasa-bahasa Timur. Selama 26 tahun hidup di Eropa, dia tercatat sebagai penerjemah di Liga Bangsa-Bangsa, Geneva dan wartawan Perang Dunia I untuk New York Herald dan New York Herald Tribune.
Akan tetapi, dia tidak menemukan tujuan hidupnya di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat. Ada sesuatu yang kosong dalam dirinya. Sampai pada suatu hari dia mendoakan seorang gadis kecil, putri sahabatnya, yang orang Perancis di Geneva, menaruh tangan di kepalanya, dan hari itu juga si anak minta makan.
Padahal, para dokter sudah memutuskan ketidakmungkinan anak yang sudah tidak sadar beberapa hari itu bisa sembuh. Sejak itu ia mengerti panggilan hidupnya. Tahun itu juga, 1925, dia kembali ke Indonesia dan menetap di Bandung.
Kearifan lokal
Untuk zaman kita sekarang ini, tentu banyak orang yang akan bersikap seperti dokter-dokter Belanda pada zaman kolonial itu: tidak memercayai ”klenik” semacam itu, yang mampu menyembuhkan puluhan ribu orang—dari rakyat kecil sampai sultan-sultan di Sumatera dan bahkan tentara Belanda—hanya dengan air putih dan secarik kertas berhuruf Alif.
Amuk massa, tawuran, bentrok antarkampung, bentrok antarfakultas, serta perusakan dan pembunuhan karena beda iman terjadi akibat Indonesia telah melupakan akar-akar budayanya sendiri. Indonesia mencaplok begitu saja budaya-budaya lain tanpa sikap kritis sama sekali.
Mereka terlalu percaya adanya kebenaran tunggal yang universal. Kalau Amerika bisa, kenapa kita tidak? Kalau di Pakistan begitu, kenapa Indonesia tidak menjiplaknya?
Mengapa kearifan-kearifan lokal Indonesia yang selama ratusan bahkan ribuan tahun berhasil mendamaikan hidup rakyat kecil setelah tahun 1950-an, dan terutama setelah 1998, memorakporandakan kehidupan di Nusa Damai ini?
Sejak nenek moyang bangsa Indonesia menempati kepulauan ini, keragaman budaya yang ratusan itu bisa hidup berdampingan. Tidak ada ambisi untuk menyamaratakan semua budaya itu dalam satu kebudayaan tunggal yang monolit.
Barang siapa berusaha menyamaratakan Indonesia dalam kebenaran tunggalnya, rakyat akan bangkit menumpasnya apabila saat yang tepat tiba. Peristiwa pembangkangan komunisme dan DI/TII membuktikan hal itu.
Kesatuan Indonesia tak akan bisa mengingkari keragamannya karena geografi Indonesia beragam. Indonesia bukan hanya padang sabana, bukan padang pasir saja, bukan padang es saja, bukan bukit-bukit saja, bukan dikepung lautan saja, melainkan gabungan semua itu.
Bahkan lebih beragam dari itu. Bagaimana Anda akan menghapuskan keragaman yang kodrati itu dalam satu pukulan kekerasan yang seragam?
Kesatuan berwujud justru karena adanya keberagaman. Kalau semua sudah seragam, untuk apa disebut kesatuan? Seragam itu nilainya hanya satu. Kesatuan dari keberagaman adalah bagaimana menjalin sistem hubungan saling menghidupi antara yang beragam itu. Anda akan ikut sakit bila salah satu partner Anda dalam sistem hubungan kesatuan itu sakit. Kalau sengaja menyakiti, bahkan meniadakan salah satu unsur jaringan tersebut, bukan hanya Anda yang akan mati, melainkan juga seluruh kesatuan.
Saling membutuhkan
Sejak dahulu kala, daerah Jawa itu perlu bagi Indonesia karena menyumbang kebutuhan beras bagi beberapa daerah. Akan tetapi, Jawa juga membutuhkan Nusa Tenggara karena sumbangan kayuwanginya, membutuhkan kayu-kayu besi untuk keraton-keraton Jawa, membutuhkan Maluku karena rempah-rempahnya, membutuhkan Papua karena satwa yang bisa dijual di China.
Kita ini saling membutuhkan untuk dapat meneruskan hidup ini dengan selamat dan sejahtera. Kalau Indonesia seluruhnya Anda jadikan sawah, lantas mau dibuang ke mana surplus beras kita itu?
Itulah ibaratnya. Sekarang ini kita tidak mengenal apa peran yang akan dilakukan masing-masing untuk saling menunjang dan mengisi kebutuhan kita secara keseluruhan karena keseluruhan tak lain adalah keseragaman.
Kesatuan itu bermakna justru karena adanya keberagaman peran sehingga satu sama lain peduli untuk saling menolong dan menghidupkan. Kesatuan yang seragam akan memusnahkan dirinya kalau kelemahan dirinya tak tertolong lagi.
Dalam bidang kerohanian pun agama-agama besar dunia masuk Indonesia dan berkembang sesuai keberagaman itu. Buah apel itu akan berbeda-beda rasanya kalau ditanam di Malang, di pegunungan Papua, atau di tanah persawahan Jawa.
Adalah Aki Sasmi, seorang warga Baduy yang tak pernah sekolah, pada 1950-an mengatakan kepada guru Suria Saputra, mewakili kearifan lokal penduduk desa.
Kira-kira begini perkataan Aki Sasmi: ”Sungguh baik sekali kalau di dunia ini hanya ada satu agama yang dipeluk manusia. Aku bersedia memeluk agama yang hanya satu itu bila semua tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan dapat dimakan, tidak beracun lagi. Semua daging hewan dapat dimakan, tidak memabukkan lagi. Dan semua manusia baik lelaki maupun perempuan sama cantiknya, tidak buruk seperti aku.”
Sumber: KOMPAS, 12-3-2011

Di Manakah Engkau, Negara?

Setelah reformasi, rakyat kehilangan pemerintahan yang berwibawa. Negara dan pemerintahan memang masih ada, tetapi sekaligus juga tidak ada karena tidak hadir dalam kehidupan rakyat.
Di manakah engkau negara ketika kami tidak mampu membayar saat anak kami harus dioperasi? Di manakah engkau negara ketika kami harus membangun kembali rumah kami yang lenyap oleh bencana? Di manakah engkau negara ketika rumah ibadah kami ditutup paksa?
Namun, engkau muncul dengan kekuasaanmu ketika kami harus mengurus kartu penduduk, ketika mau mengawinkan anak kami, ketika mengurus paspor, dan ketika mengurus izin usaha. Mengapa engkau tidak hadir pada waktu rakyat kecil ini membutuhkan kekuasaanmu, tetapi justru hadir untuk menyulitkan hidup kami?
Apa gunanya memiliki negara? Namun, akan ke manakah kami ini kalau tak harus di sini? Negara adalah alamat kami mengadu kalau kami diperlakukan tidak adil. Negara adalah tempat kami berlindung apabila bencana datang di luar kesalahan kami.
Sebelum reformasi, kami memiliki dua bapak yang akhirnya tidak kami sukai, tetapi keduanya berani bertanggung jawab dengan cara mereka sendiri bagaimana melindungi rakyatnya. Bahkan, kami berani untuk meminta nama bagi bayi kami. Kaum politisi mungkin tidak menyukai mereka berdua, tetapi kami, rakyat kecil ini, tahu kepada siapa kami harus mengadu, meminta restu, bahkan mencaci maki. Negara itu ada lantaran kami mengetahui alamatnya. Namun sekarang, siapakah negara ini? Kalau kami mengadu, bola dilemparkan ke mana-mana.
Kami tidak tahu bagaimana pikiran para cerdik pandai yang mengurusi kekuasaan di negeri ini. Pada waktu kedua bapak kami berkuasa, dan terasa hadir kekuasaannya, mereka dituduh otoriter. Namun, setelah demokrasi yang mereka inginkan dilaksanakan sejak 1998, gerakan-gerakan menuju otoriter yang sesungguhnya justru dibiarkan?
Reformasi kaum cerdik pandai dilancarkan berdasarkan buku-buku bangsa-bangsa yang usianya jauh lebih tua daripada negara kami. Mereka tidak membaca realitas bangsa yang baru pada 1950 benar-benar mandiri. Pemerintahan berdasarkan partai-partai politik telah berlangsung ratusan tahun di negara buku-buku itu. Kesadaran rakyat terhadap politik dan kepartaian juga sudah tinggi, kira-kira sejajar dengan kaum cerdik pandai negeri ini.
Akan tetapi, lebih dari setengah—bahkan tiga perempat—rakyat Indonesia buta politik, apalagi memahami apa faedahnya partai politik bagi kehidupan mereka. Ketika mereka harus mencontreng tanda gambar atau potret orang, mereka bingung karena hal itu tidak bermakna bagi mereka. Tentu saja mereka akan mencontreng gambar orang yang setiap hari muncul di televisi sebagai pelawak.
Sistem politik di negeri ini harus dibaca ulang, tidak mengekor bangsa lain yang punya sejarah dan konteks sosio-budayanya sendiri. Apa dan siapakah Indonesia ini pada zaman modern? Indonesia bukan Malaysia, Singapura, atau Nigeria. Mungkin malah mirip India atau China. Inikah yang membuat negara dan pemerintahan sejak reformasi ”tidak ada”? Sedangkan pada masa demokrasi otoriter malah ada?
Petruk pun jadi ratu
Apakah dari 200 juta rakyat Indonesia ini tak ada barang 2.000 atau 3.000 cerdik pandai yang benar-benar mengenali realitas Indonesia yang sebenarnya? Mereka yang kritis terhadap buku-buku teori? Jumlah itu akan cukup mengisi kursi-kursi penting pada sektor-sektor legislatif, eksekutif, yudikatif, dan pertahanan?
Salah orang di tempat yang salah, itulah kondisi saat ini. Salah orang justru terjaring dalam sistem politik, sedangkan orang-orang yang tepat, the right man, justru mubazir. Masalahnya bagaimana menempatkan putra-putra terbaik itu di tempat yang tepat? Sekarang ini banyak Petruk jadi ratu. Bagaimana nasib negara apabila jatuh pada kekuasaan tokoh semacam Petruk ini? Atau Bagong dan Limbuk?
Para pendiri republik ini, yang mengenal betul kehidupan kami rakyat kecil ini, karena mereka benar-benar pernah hidup di antara kami, telah mendesain sistem pemerintahan yang khas Indonesia meski mungkin agak mirip dengan sistem sosialis di negara-negara komunis. Lembaga tertinggi negara ini adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berhak untuk memandatkan kekuasaan kepada presiden yang mereka pilih. Rakyat cukup sekali saja melaksanakan pemilihan umum untuk menunjuk wakil-wakil mereka di MPR itu. Seharusnya MPR inilah yang benar-benar diinginkan dan dipilih oleh rakyat.
MPR adalah lembaga keresian. Resi adalah orang-orang bijak di bidangnya dan kenyang pengalaman. Lembaga resi inilah yang memilih presiden dan berkuasa menurunkan presiden kalau kebijaksanaan pemerintahannya merugikan rakyat yang mempercayakan mandatnya kepada para anggota MPR yang resi-resi itu. MPR adalah pemegang mandat rakyat, kekuasaan tertinggi negara, tetapi tidak menjalankan kekuasaannya itu. Para resi ini menyerahkan mandat kekuasaan kepada ratu atau presiden. Meski presiden berkuasa, dia bukan pemilik kekuasaan itu karena pemiliknya adalah MPR. Sistem ini mencegah munculnya ratu atau presiden sebagai penguasa otoriter.
Apakah Indonesia ini kekurangan resi tani, resi agama, resi adat, resi ekonomi, resi teknologi, dan ratusan resi yang lain? Mereka inilah the right man. Orang-orang benar ini tentu akan memilih tanpa pamrih orang yang tepat dan benar sebagai ratu atau presiden Indonesia. Jadi, presiden benar-benar dipilih oleh orang-orang yang melek politik, melek budaya, dan melek ekonomi. Ya, daripada dipilih dengan biaya mahal oleh kami yang buta dengan semua itu.
Sumber: Kompas, 12/02/2011

Kriminal atau Pahlawan 

Indonesia gudangnya cerita absurd, paradoks, dan irasional. Kita sekarang tahu negeri ini semakin merosot justru karena pengelola negara semakin kaya dengan kekayaan yang juga absurd.
Bayangkan seorang guru besar yang telah pensiun sesudah mengabdikan diri mendidik para sarjana selama 40 tahun! Ia mendapatkan pesangon pensiun sebesar Rp 34 juta dan uang pensiun setiap bulan Rp 2,5 juta. Bandingkan dengan seorang pegawai pajak berusia 30 tahun yang berhasil meraup uang negara puluhan—mungkin ratusan—miliar rupiah dan dihukum tujuh tahun penjara. Belum lagi ribuan cerita absurd lain di negeri ini.
Benarlah cerita pendek Somerset Maughan tentang belalang yang rajin dan belalang yang malas menghadapi musim dingin. Tak usah rajin bekerja di republik ini sebab para pemalas yang akan menikmati kerja keras orang lain. Para pemalas itu bisa berstatus pejabat apa pun. Tak mengherankan bahwa banyak kandidat pejabat yang rela menjual sawah, ternak, bahkan rumah buat merintis jalan menduduki kursi jabatan.
Jabatan adalah kekuasaan. Dengan kekuasaan yang tak terkontrol siapa pun, meski tersedia lembaga kontrol, Anda akan jadi despot gurem yang cukup ampuh menilep hasil kerja keras belalang-belalang bodoh yang masih percaya kisah moral macam itu.
Kekuasaan tidak bermoral
Rakyat negeri ini dikenal dan mengaku diri religius serta menjunjung tinggi moral. Namun, apabila kekuasaan sudah tak bermoral, orang-orang baik menjadi orang-orang bodoh. Di tengah belalang bodoh semacam itu, si jahat bebas melakukan hukumnya sendiri yang berbalikan dengan moralitas.
Terjadilah hukum terbalik di Indonesia: yang kerja keras tetap miskin, yang tak bekerja justru kaya; yang jujur selalu salah, yang tak jujur selalu benar; kejujuran adalah kebohongan, kebohongan adalah kejujuran; yang profesional tak dipakai, yang amatir justru berkuasa.
Hukum terbalik inilah yang membuat negara dan bangsa bukan berjalan maju, melainkan berjalan mundur. Bukan tak ada menjadi ada, tetapi dari ada semakin tak ada. Indonesia pun menjadi tidak-Indonesia.
Hukum terbalik Indonesia ini hanya dapat dikembalikan dengan hukum kewarasan kembali, yakni yang ditindas menjadi penindas, yang miskin menjadi kaya dan yang kaya dimiskinkan, yang profesional mengganti yang amatir, yang kriminal adalah kriminal, dan yang pahlawan adalah pahlawan. Belalang rajin makan saat paceklik serta belalang malas dan bodoh akan kelaparan.
Sekarang ini absurditas masih realitas bahwa kriminal adalah pahlawan bangsa, sedangkan pahlawan sejati dijadikan kriminal. Negara ini sedang menjadi negara kaum kriminal, tetapi para kriminal bukan masuk penjara, justru menjadi para pahlawan bangsa. Apa beda antara pahlawan dan kriminal?
Logika sekarang menyatakan: tidak ada bedanya. Semakin Anda brutal dalam kriminal, dan dengan demikian kaya raya, Anda akan mendapatkan pemuja-pemuja. Mereka bagai anjing-anjing yang setia menanti remah-remah kriminalitas Anda.
Itulah sebabnya, para syahid korban kriminal ini menjelang kematian tidak mau dikuburkan di taman makam pahlawan. Taman makam pahlawan telah menjadi taman kriminal. Kalau mau menengok kuburan orang-orang syahid Indonesia, lebih baik pergilah ke kuburan-kuburan rakyat jelata, korban dari para pahlawan bangsa sekarang ini.
Semar gugat
Ada cerita dalam wayang Jawa tentang Semar gugat. Tokoh yang dipuja orang Jawa ini hanyalah abdi atau hamba para kesatria Pandawa. Wujudnya paradoks, lelaki tetapi ditampilkan berpayudara seperti perempuan dalam fisiknya yang kebulat-bulatan. Dia adalah wakil rakyat kecil. Namun, sebenarnya Semar yang juga bernama Ismaya atau Maya adalah saudara kembar Manik atau Batara Guru yang berkuasa atas dunia dan isinya.
Dalam cerita itu, Batara Guru sering memutuskan secara tidak adil nasib manusia. Kita lihat bahwa para dewa saja bisa tidak adil, apalagi dewa-dewa Indonesia sekarang. Melihat para majikan Semar diperlakukan tidak adil oleh Batara Guru, Semar marah besar. Pandangan matanya yang senantiasa berair dan kabur itu tiba-tiba mengalirkan air mata terus-menerus. Perutnya menjadi mual dan kembung oleh ketidakadilan sehingga kentut terus-menerus.
Bau kentut Semar bisa membuat mabuk para dewa, bahkan mematikannya. Semar, yang hamba dina ini, akan naik ke swargaloka untuk menghajar kembarannya, Batara Guru. Dengan mudah sang dewa penguasa itu dibekuk, minta ampun, dan akhirnya berjanji akan berbuat adil.
Para guru besar, pengusaha jujur, atau petani yang keras bekerja di terik matahari adalah Semar. Mereka cuma hamba-hamba pelayan masyarakat yang telah lama diperlakukan tak adil oleh para dewa kriminal.
Mata mereka tak rembes alias berair dan tak bisa kentut. Namun, mereka adalah kekuatan terpendam: bisa marah seperti Semar berkulit hitam legam. Si hitam ini akan mampu membekuk Batara Guru yang kuning.
Yang kuning dijadikan hitam dan yang hitam menjadi kuning. Hukum terbalik itu sudah kodrati, tak bisa dihindari seperti hukum kematian manusia. Begitu juga kriminal tak selamanya pahlawan.
Negeri ini tinggal tunggu waktu kapan jam 12 malam akan tiba, saat Semar dan anak-anaknya muncul di layar wayang. Itulah saat Semar menggugat kekuasaan yang sungsang terbalik ini. 
(Sumber: KOMPAS,   Januari 2011)