Ahmad Syafii Maarif

Tumbangnya Para "Pancilok"

Karena perkataan thugtatorship baru bagi saya, maka perlu sedikit penjelasan. Perkataan thug berasal dari bahasa Hindi, thag, yang berarti penipu.
Di India, thugees adalah komplotan kriminal terorganisasi yang kerjanya merampok, menjarah, mancilok (Minang: mencuri), dan perbuatan jahat lain. Ada perbedaan mendasar antara thugtatorship dan demokrasi, seperti yang dapat dibaca dalam artikel Prof Alemayehu G Mariam, Thugtatorship: The Highest Stage of African Dictatorship (28 Februari 2011).
Jika demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, thugogracy adalah pemerintahan dari pancilok, oleh pancilok, dan untuk pancilok. Sengaja ungkapan Minang dipakai agar terasa lebih tajam dalam menggambarkan sosok penjahat yang dimaksud.
Daftar panjang para ”pancilok”
Mariam membuat daftar panjang para thugtator (pancilok) Afrika yang telah merampok kekayaan negara dalam jumlah miliaran dollar AS untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan kroni mereka. Hasil rampokan ini disimpan di bank-bank Eropa dan Afrika.
Dalam daftar itu ada Khadafy (Libya), Laurent Gbagbo (Pantai Gading), Meles Zenawi (Etiopia), Omar al-Bashir (Sudan), Mamadau Tanja (Niger), Robert Mugabe (Zimbabwe), Hosni Mubarak (Mesir), Zine al-Abidine Ben Ali (Tunisia), Ibrahim Babangida (Nigeria), Lansana Conte (Guinea), Gnassingbe Eyadema (Togo), Omar Bongo (Gabon), Obiang Nguema (Guinea-Ekuatorial), Blaise Campore (Burkina Faso), Denis Sassou Nguesso (Kongo), dan sederet yang lain.
Mereka ini—tak peduli apa pun agama dan aliran politiknya—adalah penguasa pancilok sambil menindas rakyatnya sendiri dan membiarkan mereka hidup dalam kemiskinan yang parah. Korupsi adalah bisnis utama mereka. Luar biasa, bukan?
Tipe manusia semacam ini juga berkeliaran di Indonesia; dari pusat sampai ke kawasan pedalaman, dalam ukurannya masing-masing. Bangsa ini memang sedang berlumur kultur hitam dan kumuh itu, sementara pemerintah tidak serius memeranginya, kecuali dalam kata dan perintah. Kita tak tahu persis berapa jumlah anak (mantan) penguasa yang punya kekayaan triliunan. Dari mana asal uang itu? Tentu tak sulit diterka: bertalian dengan bisnis dalam sistem thugogracy.
Sebagian data berikut kian memperjelas betapa gawat bisnis korupsi itu dijalankan. Pada 2010, Mugabe berencana menjual perhiasan berliannya seharga 1,7 miliar dollar AS. Tidak tanggung-tanggung, Mugabe—termasuk istrinya, Grace Mugabe—telah merampok bantuan asing sebesar 4,5 juta poundsterling yang sebenarnya ditujukan untuk perbaikan nasib rakyat yang sangat menderita.
Mantan Presiden Nigeria Sani Abacha juga telah mancilok kekayaan negaranya 500 juta dollar AS. Ben Ali dan Mubarak juga berbuat serupa dalam jumlah ratusan juta dollar AS, yang sekarang dibekukan di bank Swiss dan di bank-bank lain. Rezim Khadafy kabarnya punya aset cair di London sebesar 20 miliar poundsterling dan ratusan juta dollar AS lain di Swiss. Omar al-Bashir yang Muslim tidak saja mencuri uang negara, tetapi juga telah melakukan kejahatan kemanusiaan di Darfur yang sebagian besar berpenduduk Muslim.
Sikap Barat
Justru yang aneh bin ajaib adalah sikap negara-negara Barat terhadap penguasa pancilok ini. Selama kepentingan Barat terjamin, penguasa-penguasa itu dibiarkan menindas dan membunuh rakyatnya.
Ben Ali dan Mubarak sebelum tumbang adalah sahabat-sahabat setia Barat. Namun, begitu tanda-tanda kejatuhan penguasa korup itu terlihat dan tak mungkin ditolong lagi, Barat dengan ”semau gue” berputar haluan.
Anda tentu masih ingat dulu ketika diktator Shah Iran Reza Pahlevi berada di puncak kekuasaannya, Barat selalu memujinya sebagai penguasa reformis dan rezimnya dikatakan sebagai yang paling stabil di tengah-tengah gelombang yang mengempas. Namun, karena Iran tetap membangkang Barat, melalui berbagai cara, negara ini selalu ingin dilumpuhkan, terlepas dari penilaian apakah penguasa Teheran ini berbuat adil terhadap rakyatnya atau sebaliknya.
Saddam Hussein pun pernah dipuji dan dibantu ketika meletus perang antara Irak dan Iran. Tak terkecuali rezim Saudi yang despotik juga sahabat Amerika yang setia, demi minyak. Oleh sebab itu, teriakan Gedung Putih tentang demokrasi dan hak-hak asasi manusia tidak berlaku untuk thugtator yang membela kepentingan bisnis dan politik Amerika.
Namun, apabila kepentingan itu dirasakan terancam, serta-merta mereka dikategorikan musuh yang harus ditumbangkan. Ironisnya, dunia Islam khususnya, belum juga pandai belajar dari pengalaman serba pahit dan menipu itu. Amat disayangkan!
Kita tidak dapat mengatakan berapa lama lagi dunia Islam ini akan dipimpin oleh manusia-manusia merdeka dan berdaulat dengan misi utama: terwujudnya keadilan bagi seluruh rakyatnya. Apakah pengalaman revolusi Afrika yang belum usai ini belum juga menyadarkan mereka bahwa setiap kekuasaan absolut dan korup pasti, lambat atau cepat, digugat oleh rakyatnya sendiri untuk diganti.
Peringatan Gandhi
Filosofi anti-kekerasan Mahatma Gandhi untuk perubahan telah jadi legenda dalam literatur dunia sekalipun tidak mudah diwujudkan. Penguasa kejam yang tak mau juga keluar dari istananya setelah puluhan tahun berada di sana, sedang rakyat sudah muak dengan kelakuannya, untuk sebuah perubahan tidak jarang mengundang pertumpahan darah, sesuatu yang tak diinginkan terjadi oleh Gandhi.
Namun, sebagai sesuatu yang ideal, filosofi anti-kekerasan itu akan selalu relevan sebagai sumber renungan yang tak dimakan musim. Inilah inti ajaran Gandhi itu: ”Saat aku patah harap, aku senantiasa ingat segalanya bahwa melalui jendela sejarah, jalan kebenaran dan cinta selalu menang. Di sana banyak tiran dan pembunuh, dan untuk sementara mereka tampak tak terkalahkan, tetapi di ujung perjalanan, mereka selalu tumbang. Renungkan ini, senantiasa.”
Dengan mengacu pada filosofi Gandhi ini, setiap pejuang kebenaran tidak boleh kehilangan asa kapan pun dan di mana pun sebab kebenaran dan keadilan pasti jaya dan menang. Kepalsuan dan kedurjanaan pada akhirnya pasti hancur. Yang selalu dituntut adalah tersedianya stamina spiritual yang pantang menyerah. Inilah makna hidup perjuangan yang terdalam dan tak tergoyahkan sepanjang zaman.

(Sumber: Kompas, 8-3-2011)

Main Api Terbakar

Kultur buram menyandera kita. Peribahasa Melayu itu selengkapnya berbunyi: ”Main api terbakar, main air basah”. Artinya, setiap perbuatan yang menyerempet bahaya atau perbuatan kotor, si pelaku harus berani menanggung risikonya, jangan dipikulkan ke atas pundak orang lain.
Peribahasa ini akan saya pakai sebagai pisau pembedah tentang karut-marutnya kultur Indonesia mutakhir di ranah politik kekuasaan, ekonomi, hukum, dan moral. Keempat ranah ini sudah bertali berkelindan sehingga amat sulit memisahkannya. Satu sama lain saling menempel dan mungkin sudah saling berselingkuh. Politik punya tujuan ekonomi, sebaliknya ekonomi perlu payung politik. Di antara keduanya posisi hukum diperlemah dan diperdagangkan. Pertimbangan moral sudah lama menguap, entah ke mana.
Harus ada jalan ke luar
Karena kondisi moral bangsa sudah demikian rapuh dan pengap, kelakuan mereka yang mengaku beragama atau yang tak hirau dengan agama sudah tidak bisa dibedakan lagi. Itulah kultur buram Indonesia sekarang yang dapat kita amati dengan gampang siang dan malam melalui berbagai media cetak, elektronik, dan dalam pembicaraan di mana-mana, di kota dan di kampung.
Di warung-warung kopi di seluruh Nusantara, Anda dapat menyaksikan dan merasakan betapa dalamnya guncangan kultural yang tengah menyandera publik dalam rentangan radius yang sangat luas. Dalam perspektif fenomenologi semuanya ini tentu menarik untuk diteropong, sekalipun benang kusutnya tidak mudah diurai dan dibongkar karena menyangkut sistem kekuasaan yang sedang berlaku.
Di tengah kultur yang menyesakkan napas itu, siapa sebenarnya yang tega main api? Apakah auktor intelektualisnya berupa sosok perorangan atau berupa kekuatan masif, kita belum bisa memastikan.
Selama auktornya tetap bersembunyi, publik akan terus meraba-raba secara spekulatif, dengan maksud baik dan damai, atau karena ingin perubahan radikal dengan segala akibatnya. Kelompok terakhir ini mewakili arus kecil dalam masyarakat yang tidak peduli lagi apakah perubahan yang dibayangkan itu akan berdarah-darah dan merusak bangunan milik publik.
Bagi mereka, itu semua risiko setiap perjuangan. Saya sendiri memang ingin perubahan, tetapi harus tetap damai, konstitusional, dan haram berdarah-darah. Kita jangan lagi membebani bahu bangsa yang sudah sarat beban yang nyaris tak terpikul. Dalam bacaan saya, semua sisi gelap di atas adalah akibat logis syahwat kekuasaan mereka yang tunamoral yang telah lama mengubur dan menjungkirbalikkan nilai-nilai luhur Pancasila.
Syahwat yang tak terkendali pasti membutakan mata, membunuh kesadaran nurani, dan di ujungnya sedang menunggu tragedi ini: bangsa dan negara akan digiring ke posisi kehilangan kedaulatan di tengah-tengah lautan kemiskinan sebagian rakyat kita. Dari sudut pandang inilah saya sangat berharap dalam tempo tak terlalu lama mereka yang telah main api cepat siuman dan tak meneruskan petualangan syahwat yang merusak sendi-sendi berbangsa dan bernegara yang susah payah dibangun selama ini. Pemain api adalah pengkhianat. Titik! Titik-titik api yang mendesak untuk dipadamkan.
Kita ambil masalah-masalah besar saja sejak tiga tahun terakhir. Dari sumber-sumber yang punya otoritas, saya mendapatkan info cukup mengerikan tentang siapa sebenarnya yang bermain api itu. Namun, untuk pengungkapannya lebih jauh sekarang, biarlah waktu yang akan memberi tahu publik pada saatnya.
Yang perlu dijaga adalah agar bangsa dan negara ini tetap utuh dan damai, tidak semakin oleng dan terkoyak-koyak. Masa depan Tanah Air yang elok ini masih bisa diselamatkan dengan syarat kita tak membiarkannya terus meluncur menjadi bangsa paria, tempat pihak neoimperialis dan agen-agen domestiknya sedang bekerja untuk itu, sadar atau tidak sadar.
Mesir di bawah Hosni Mubarak adalah contoh telanjang tentang betapa jauhnya cakar neoimperialis itu telah membius Mesir. Anda tentu sudah tidak sabar menunggu apa yang saya maksud dengan permainan api itu, bukan? Sebenarnya publik sudah tahu masalah-masalah besar itu, tetapi siapa pemain yang sebenarnya masih gaib oleh sebagian besar publik kita.
Serangkaian drama
Saya sendiri masih terus mengumpulkan data valid tentang semuanya itu. Ada beberapa kasus aneh yang perlu dibicarakan di sini. Misteri pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen yang kemudian menyeret Antasari Azhar sebagai Ketua KPK ketika itu ke meja hijau bukan perkara sederhana. Kesaksian ilmiah ahli forensik kenamaan, Dr Mun’im Idris, yang membantah rekayasa pihak kepolisian tentang penyebab kematiannya masih dibiarkan menggantung di awang-awang. Juga kesenjangan yang sangat jauh antara tuntutan jaksa dan keputusan hakim terhadap Antasari kian menghilangkan kepercayaan publik kepada institusi penegak hukum.
Pada saatnya, drama ini harus dibongkar lagi. Jika tidak oleh penguasa sekarang, penguasa berikutnya tidak punya pilihan lain kecuali membukanya untuk publik. Pembongkaran ini akan memberi tahu kita siapa yang main api di belakang panggung politik ini. Apa kaitannya dengan perhitungan suara dalam Pemilu 2009 di tangan KPU-nya yang tidak profesional.
Drama kedua yang tidak kurang mengganggu adalah rekayasa terhadap Bibit- Chandra yang pernah ditahan dan sampai hari ini Komisi III DPR masih bersilat lidah untuk mempersoalkan kehadiran mereka di DPR. Tampak jelas di sini bahwa politik kepentingan pragmatis anggota DPR tidak bisa disembunyikan lagi.
Masih bertalian dengan kasus BibitChandra, pemberhentian Susno Duadji sebagai Kabareskrim dan kemudian memperkarakannya juga tak boleh dipandang enteng. Susno adalah saksi dan sumber kunci tentang banyak hal, seperti Daftar Pemilih Tetap pemilu, skandal Bank Century, dan tentu masih banyak yang lain. Pembungkamannya—karena disumbat mulutnya untuk berbicara kepada publik—hanya akan kian mengeruhkan kondisi politik yang memang sudah keruh. Pada saatnya, kita mungkin akan tahu peta politik sebenarnya tentang siapa bermain api di belakang penangkapan Susno ini.
Drama ketiga adalah kasus Gayus Tambunan yang nyaris mengalahkan negara. Di belakang mafia pajak ini pasti berkomplot para pejabat yang merangkap penjahat penting yang telah pula main api untuk membakar republik tercinta ini. Kasihan Indonesia yang telah dijadikan panggung bulan-bulanan oleh anak-anaknya sendiri yang sarat dusta (baca: bohong) dan dosa melalui perbuatan hitam, sementara kepemimpinan nasional terasa kian lemah dan kehilangan perspektif.
Akhirnya, Anda jangan terlalu risau. Masih ada optimisme di sini. Sekali nilai- nilai luhur Pancasila ditegakkan di ranah politik, ekonomi, hukum, dan moral; pasti akan segera ketahuan siapa yang main api selama ini dan pasti akan terbakar. Dibakar oleh kesadaran tulus dan dalam warga negara tentang perlunya pembelaan terhadap bangsa dan negara agar tidak tiarap di depan kekuatan mana pun dan di depan siapa pun. Negeri milik kita ini bukanlah negeri tempe yang tidak mampu bangkit serentak bagi suatu langkah besar ke depan secara kolektif.
(Sumber: KOMPAS, 7/2/2011)

Tarmudi, Wong Cilik yang Masih Berdoa

Sabtu pagi, pada hari Natal, 25 Desember 2010, di perumahan Nogotirto Elok 2, Yogyakarta.
Ketika saya lagi istirahat dari olahraga sepeda di sebuah pos ronda, dari jarak yang tidak jauh terdengar suara penjaja barang dagangan bernama Tarmudi (54): ”Keset, sapu, sulak.”
Saat mendekati pos ronda, Tarmudi saya tanya, ”Apakah ada keset yang bagus?”
Dijawab, ada dua jenis, harga Rp 5.000 dan Rp 8.000 yang terbaik. Saya membeli keset dan membayar Rp 10.000, kelebihannya yang Rp 2.000 tidak perlu dikembalikan. Rute perjalanan Tarmudi adalah ini: berangkat pagi dengan bus dari Muntilan ke Terminal Jombor (Sleman). Pulang sore dari Terminal Giwangan (Yogyakarta) ke Muntilan.
Saya tak bertanya sudah berapa lama kerja keras serupa ini dijalaninya. Boleh jadi sudah tahunan. Dalam dialog singkat itu juga tak sempat saya ketahui apakah rumahnya diguyur lahar Merapi, panas atau dingin, yang sempat membuat Muntilan kota mati. Beban berat harus dibawanya. ”Demi mencari makan,” ujarnya, sambil meraba perut.
Dengan sisa uang Rp 2.000 itu, Tarmudi senang sekali. Katanya, untuk tambahan beli jajan. Kemudian dia terus berlawalata dari kampung ke kampung, berjam- jam saban hari. Entah berapa kilometer dia harus menggunakan kakinya yang beralaskan sandal jepit itu menjunjung barang dagangannya yang jauh lebih besar dari tubuhnya. Bagi Tarmudi, si rakyat kecil, rupiah demi rupiah yang dikumpulkan sungguh berharga.
Modal dagangannya Rp 300.000. Jika laku semua, keuntungan kotornya sekitar Rp 50.000. Dipotong biaya transportasi dan jajan, sisa yang dibawa pulang hanya berkisar Rp 30.000. Sekiranya berlawalata 30 hari per bulan, rezeki yang diperoleh hanyalah Rp 900.000. Keringat dan tenaga yang dikerahkan tidak dihitung. Jika jatuh sakit, tentu semuanya menjadi kosong. Untung ada seorang anaknya yang ikut kerja bangunan, demi meringankan beban bapaknya yang usianya kian lanjut.
Stamina rakyat kecil
Di sejumlah daerah di Nusantara, kita bisa menemukan manusia tipe Tarmudi ini. Berupaya melangsungkan kehidupan dengan berdikari, pantang jadi pengemis, sekalipun hasilnya mungkin lebih besar. Dalam serba kekurangan dengan pakaian lusuh, Tarmudi tetap menjaga harga diri, menapaki kehidupan, berjualan dengan beban berat yang bertengger di kepalanya.
Dengan serbuan toko-toko swalayan ke kampung-kampung dan desa-desa sebagai bagian sistem ekonomi neoliberal, nasib penjaja seperti Tarmudi akan semakin tak tertolong. Jenis dagangan Tarmudi tersedia semua di pusat perbelanjaan neoliberal yang berlawanan 100 persen dengan seluruh nilai Pancasila itu. Tetapi siapa yang masih peduli dengan serbuan pasar yang mematikan kehidupan rakyat kecil ini? Jika kecenderungan buruk semacam ini tidak dibendung kekuatan nasionalisme dalam tempo dekat ini, pemerintah jangan lagi berbicara sebagai pembela rakyat kecil. Tarmudi-Tarmudi lain yang jumlahnya puluhan juta pasti akan semakin kehabisan energi, terkapar dilindas sistem ekonomi yang antirakyat ini.
Bagaimana dengan puluhan juta penganggur pedesaan yang kondisi kehidupannya jauh di bawah Tarmudi? Jawabannya sangat gamblang: di ujung lorong sana, kematian secara pelan-pelan sedang menanti. Atau mereka menyerbu kawasan perkotaan untuk mengadu nasib dalam pertarungan hidup yang sangat kejam. Sebagian besar pasti terkapar. Bab XIV UUD 1945, Pasal 33 (asli) tentang Kesejahteraan Sosial, sudah lama tak dijadikan acuan membangun sistem perekonomian yang kian dirasakan tak berpihak ke rakyat kecil.
Untuk menyegarkan bunyi dan ruh Pasal 33 itu, di bawah ini saya turunkan selengkapnya. (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas dasar asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal inilah sebenarnya yang dapat membentengi bangsa dan negara ini agar tidak ditelan oleh arus kuat neoliberalisme yang kini sedang dijalankan oleh pemerintah kita.
Protes-protes dari kekuatan prorakyat seperti tak berdaya. Namun, Anda jangan salah baca. Arus bawah justru semakin kuat, tinggal menunggu peluang untuk membalikkan jalan sejarah ke arah yang benar. Semoga tetap dalam bingkai konstitusi dan tanpa pertumpahan darah.
Dalam pembicaraan saya dengan berbagai kalangan, sipil dan militer, semuanya sangat resah dengan situasi kita sekarang yang semakin menjauh dari nilai-nilai Pancasila atas nama pembangunan. Kelemahan kekuatan pro- rakyat ini adalah karena mereka belum mampu menyatukan barisan. Namun, pengalaman pahit kita dalam berbangsa dan bernegara sejak Proklamasi mengatakan bahwa perubahan pasti datang jika tiga syarat terpenuhi: (1) pemerintah semakin kehilangan legitimasi moral dan sosial, sekalipun masih mengantongi legitimasi konstitusional via pemilu yang diduga kuat tak jujur; (2) jika harga-harga keperluan hidup sudah tidak terjangkau lagi oleh sebagian besar rakyat; (3) munculnya kepemimpinan nasional yang lebih dipercaya.
Dalam dua-tiga tahun mendatang, perlu dicermati, apakah ketiga syarat itu semakin terpenuhi atau masih bisa dipoles melalui berbagai cara, tetapi untuk jangka panjang akan menggiring bangsa dan negara ini pada situasi kehilangan kedaulatan di tangan agen-agen asing yang tunamoral.
Seorang Tarmudi dan puluhan juta anak bangsa yang lain dalam kesehariannya yang serba kurang tentu tetap berharap dan berdoa agar kedaulatan negeri ini jangan sampai digadaikan, sebab itu adalah sebuah pengkhianatan yang tak termaafkan. 
(Sumber: KOMPAS, 15/1/11)