Mochtar Buchori


Keluar dari "Zaman Pancaroba"

Zaman serba kacau dan sarat berbagai krisis sekarang ini dapat disebut sebagai ”zaman pancaroba”. Ada juga yang menggunakan istilah dari dunia pewayangan, ”zaman kalabendu”. Maksudnya sama, zaman yang penuh percobaan dan mara bahaya. Orang Jawa menyebut sebagai ”zaman edan”.
Ada sajak singkat yang sangat populer di kalangan orang Jawa mengenai zaman seperti yang sedang kita jalani: Amenangi jaman edan, Ewuh aya ing pambudi, Melu edan ora tahan, Yen ora melu edan, ora keduman (Mengalami zaman gila ini, Sungguh serba salah menghadapinya, Mau turut-turut gila tidak tahan, Tetapi kalau tidak turut gila, tidak akan mendapat bagian). Orang Inggris menyebut situasi seperti ini sebagai perfect dilemma.
Dalam dunia pewayangan, untuk keluar dari kehidupan gila seperti ini, dan kembali ke kehidupan normal, masyarakat harus berperang lebih dahulu melawan segenap angkara murka penyebab segenap kekalutan tadi. Perang merupakan proses menyucikan diri dan perjuangan sangat berat, perlu tekad bulat serta kesiapan berkorban. Namun, apakah kekalutan datang begitu saja? Tentu tidak. Kita semua mafhum akan hal itu. Bahwa kekalutan dalam kehidupan bangsa saat ini tak muncul begitu saja. Ia punya sejarahnya sendiri.
Tiga jenis krisis dasar
Menurut pengamatan saya, kekalutan dalam kehidupan kita ini dimulai dengan krisis wibawa, yaitu ketika masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah. Masyarakat tak lagi percaya pemerintah dengan birokrasinya akan mampu melaksanakan segenap tugas serta memenuhi janji-janjinya. Krisis ini disusul krisis politik, yaitu ketika masyarakat mulai meragukan itikad baik pelaku politik, terutama anggota DPR. Pernyataan politisi tak diterima masyarakat sebagai ekspresi niat tulus untuk membela rakyat, tetapi ucapan-ucapan yang secara terselubung lebih menyuarakan kepentingan pribadi.
Atau paling jauh: menyatakan kepentingan kelompok. Para politisi tak lagi diperlakukan dengan hormat oleh masyarakat. Kehadiran politisi lebih banyak dihadapi dengan sikap skeptis dan bahkan rasa frustrasi, bukan sebagai pemimpin yang dihormati dan mereka dambakan.
Pernyataan paling jelas dari dua krisis ialah tak berlakunya lagi norma-norma kehidupan yang sebelumnya jadi pegangan. Semua norma dinisbikan (relativized) oleh kedua jenis krisis yang melanda masyarakat kita. Tak ada lagi norma mutlak. Korupsi, misalnya, bukan lagi hanya perbuatan memiliki sesuatu secara tak sah, tetapi tindakan memiliki sesuatu yang tak sah secara amat mencolok. Ini melahirkan krisis ketiga, yaitu krisis moral.
Berbagai krisis lain yang muncul dalam masyarakat, menurut pendapat saya, adalah varian dari ketiga jenis krisis tadi atau kombinasi ketiganya. ”Krisis PSSI” yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan masyarakat pada dasarnya gabungan antara krisis wibawa pada pengurus PSSI dan krisis politik dalam masyarakat penggemar sepak bola di Indonesia. Kedua krisis ini akibat krisis nilai atau krisis moral yang telah ada di masyarakat beberapa waktu.
Krisis seperti terjadi dalam tubuh PSSI cukup serius. Bahkan, terbilang gawat. Kita mulai diombang-ambingkan jawaban-jawaban absurd dan tak tentu dari sejumlah pertanyaan mendasar. Siapa yang lebih kita junjung tinggi? Indonesia atau FIFA? Siapa yang mulai mengacaukan persoalan: Orang PSSI atau masyarakat di luar PSSI? Saya yakin suara dan sikap masyarakat cukup jelas, sebagaimana ditunjukkan lewat berbagai aksi protes atas kepemimpinan dan kepengurusan PSSI selama ini.
Namun, ego para elitenya, dibumbui keterlibatan para politisi, membuat masyarakat harus terus menyaksikan drama tak penting dengan rasa kecewa. Krisis terus berlanjut. Belum lagi krisis gawat ini betul-betul selesai, muncul lagi krisis lebih gawat lagi, yaitu ”Krisis Ahmadiyah”.
Ini sungguh-sungguh berbahaya! Menurut pendapat saya, ini fenomena yang memperlihatkan betapa parahnya penyakit kita sebagai bangsa. Bayangkan, orang Islam Indonesia memburu orang Islam lain. Ada korban jiwa pula. Makin ironis karena pemerintah juga mengeluarkan aturan yang justru tak melindungi kelompok minoritas. Melalui kedua krisis ini kita masuk ke krisis kultural. Segala patokan kultural dalam masyarakat kita akan pudar, terancam kemusnahan. Kalau ini benar-benar terjadi, habislah riwayat Indonesia sebagai masyarakat Pancasila.
Jalan keluar
Dapatkah kita keluar dari kemelut ini? Saya tak tahu! Mungkin dapat, mungkin juga tidak! Bergantung kualitas generasi- generasi mendatang. Namun, karena kecintaan saya kepada negeri ini, tentu saya harus meyakini kita dapat melewatinya! Hanya saja, untuk mencapai harapan ini, banyak sekali yang harus kita lakukan.
Pertama, kita harus mengusahakan agar generasi-generasi berikut mendapatkan pendidikan berbeda dari yang kita lakukan selama ini, terutama pendidikan watak! Apakah generasi lampau kurang mendapatkan pendidikan watak atau character building ini? Saya yakin pendidikan watak ada sejak lama! Hanya mungkin caranya kurang benar! Kemungkinannya, sewaktu muda atau remaja watak manusia-manusia Indonesia cukup baik, tetapi memasuki usia dewasa dan harus hidup sepenuhnya di masyarakat orang dewasa, mereka—termasuk diri saya—tak kuat mempertahankan watak baik kita.
Karakter kita mulai digerogoti zaman. Sifat-sifat kesatria sedikit demi sedikit lenyap dari diri kita. Lalu, tanpa disadari kita jadi manusia-manusia tamak, menghalalkan cara apa pun mencapai tujuan pribadi. Penggerogotan watak ini terjadi karena kebanyakan kita memiliki norma- norma yang tak tertanam cukup kokoh dalam nurani. Norma-norma yang kita pelajari tak tumbuh jadi kekuatan pribadi dalam diri masing-masing yang menjadi pengawas batin dari perilaku kita. Dinyatakan secara positif: pendidikan watak kita gagal membuat kebanyakan dari kita mengikatkan diri secara sukarela dan secara pribadi kepada norma-norma yang kita pelajari dan kita terima. Secara tidak disadari, kita membiarkan diri kita menjadi manusia-manusia munafik!
Jadi, jika kita benar-benar menginginkan hadirnya generasi baru yang mampu merehabilitasi watak bangsa, cara-cara kita membentuk watak atau karakter keturunan kita harus berubah. Pendidikan watak tak cukup dilakukan melalui khotbah, nasihat, atau pituduh saja. Apalagi lewat cara-cara dogmatis kaku. Prosesnya harus benar-benar membentuk watak, semacam kawah candradimuka. Salah satu inti proses penempaan ini keteladanan dari pendidik itu sendiri. Insya Allah dari kawah ini akan lahir kesatria- kesatria sejati yang sifat-sifat kesatriaan dan kejujurannya tidak akan lapuk oleh zaman.

Mochtar Buchori Pengamat Pendidikan 
Sumber: Kompas, 10-3-2011