Kamis, 27 Januari 2011

Air Putih dan Gula Merah

Air putih sebagai sebutan untuk air minum yang bersih lazim kita gunakan dalam percakapan sehari-hari. Padahal, yang kita sebut air putih itu tidak berwarna putih. Yang lebih tepat disebut air putih adalah air susu karena, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, yang disebut putih adalah warna dasar yang serupa dengan warna kapas. Putih air susu seperti kapas. Setahu saya, di negeri ini tak ada sungai, danau, sumur, atau perusahaan air minum yang memproduksi air seputih kapas itu.
Menurut kamus yang sama, air adalah cairan jernih tak berwarna, tak berasa, dan tak berbau yang diperlukan dalam kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan yang secara kimiawi mengandung hidrogen dan oksigen. Selain itu, air juga berarti benda cair yang biasa terdapat di sumur, sungai, danau yang mendidih pada suhu 100 derajat celsius. Di kamus itu disebutkan juga bahwa yang dimaksudkan dengan jernih adalah terlihat terang (tentang air); bening; bersih; tidak keruh. Keterangan ini cukup jelas. Kalau begitu, mengapa air minum disebut air putih, bukan air jernih, air bersih, atau air saja?
Ternyata sebutan air putih ini lahir begitu saja tanpa kesepakatan bersama, kemudian diterima masyarakat tanpa keberatan atau catatan. Yang menarik, KBBI sendiri tak menolak sebutan air putih. Sebagai sebuah entri, air putih adalah air tawar yang dapat diminum atau air yang masih asli dan belum dicampur apa-apa. Saya sendiri cenderung menyebut air putih dengan air minum atau air saja karena memang tidak putih seperti kapas. Masihkah Anda tetap ingin menggunakan sebutan air putih?
Tanpa rasa curiga bahwa orang kita buta warna, bagi saya terdengar aneh ketika kita menyebut gula kelapa, atau gula nyiur, atau gula jawa sebagai gula merah, padahal warna gula itu kecoklat-coklatan, bukan merah. Karena merah adalah warna dasar yang serupa dengan warna darah (juga menurut KBBI). Walaupun demikian, KBBI tetap mencantumkan gula merah sebagai entri. Artinya frasa itu tidak ditolak.
Dalam kedua contoh di atas, warna menjadi tak penting karena itu kita mengabaikannya. Selama orang paham maknanya, warna tak perlu dipersoalkan. Bahasa Inggris menyebut gula berwarna agak coklat itu brown sugar. Itu bukan urusan kita. Meski bukan urusan kita, brown sugar, saya rasa, lebih tepat. Cuma kalau dalam bahasa Indonesia, saya lebih suka menyebutnya gula jawa.
Sebenarnya tak benar kalau orang kita disebut mengabaikan warna. Buktinya, cabai berwarna merah kita sebut cabai merah, begitu pula cabai hijau, bawang merah, bawang putih, kacang hijau, ketan hitam, beras merah, dan lain-lain. Ketakajekan berbahasa seperti ini terjadi dalam banyak bahasa. Tak hanya dalam bahasa Indonesia. Saya tak paham apakah ini dapat menyebabkan salah kaprah.
Yang pasti, kita tak dapat menyebutnya salah kaprah jika warna digunakan dalam arti kiasan. Sebagai kiasan, benda yang menggunakan warna memiliki makna khusus. Benang merah sama sekali tak berarti benang berwarna merah, tetapi memiliki makna lain: sesuatu yang menghubungkan beberapa hal (faktor) sehingga menjadi satu kesatuan. Demikian pula benang putih, sebagai kiasan, ia tidak bermakna lain kecuali: yang belum ternoda, seperti anak yang masih kecil.
Sori Siregar Cerpenis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar