Kamis, 27 Januari 2011

Sumbang

Kelompok band indie seperti Bottlesmoker dari Bandung yang meraih Kusala Musik Independen Asia Pasifik 2010 di Manila, Filipina, boleh dibilang sebagai kawanan musik bernada sumbang. Bahkan, band beraliran serupa asal Bali menamakan diri Parau, yang juga berarti sumbang. Sebelumnya dalam musik populer ada penyanyi berjuluk Doel Sumbang dan Iwan Fals—plesetan dari false dalam bahasa Inggris.
Tesaurus bahasa Indonesia, karya Eko Endarmoko (2006) maupun garapan Pusat Bahasa (2009), mengentri kata sumbang dalam dua kumpulan arti. Yang pertama terkait bunyi, nada atau suara tak selaras: ’cemplang, janggal, miring, someng, garau, parau, pecah, sember, serak’. Jika didengarkan, suara itu terasa tak nyaman di kuping. Pada entri ini sumbang juga dipadankan dengan ’keliru, salah, sesat, haram’. Namun, kesumbangan para pemusik atau penyanyi tersebut tidak terletak pada disonansi suara mereka, melainkan pada sifatnya yang melawan terhadap kemapanan permusikan di Tanah Air yang cenderung seragam menuju pasar.
Alhasil, arti kata sumbang bersifat negatif sehingga kesumbangan dianggap sebagai cacat sosial dalam masyarakat kita pada umumnya. Di daerah Aceh Tengah, misalnya, ada empat sumang—bahasa Gayo untuk sumbang—yang secara adat harus dihindari warga setempat: sumang penengonen (melihat sesuatu tidak pada tempatnya), sumang percerakan (pembicaraan yang tak wajar menurut norma), sumang pelangkahen (berjalan tanpa muhrim), dan sumang kenunulen (duduk di suatu tempat yang menimbulkan kecurigaan). Ihwal ini saya dengar dari Riana Repina, guru Madrasah Aliyah Negeri Rukoh, Banda Aceh, dalam final Lomba Penulisan Sejarah Wilayah, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2010.
Dulu perbedaan pendapat, kritik, atau ketidaksetujuan sering dipandang sebagai nada sumbang, pelantunnya dicap pembangkang dan, karena itu, harus dibungkam atas nama harmoni. Kini, karena kita sekarang memilih demokrasi, maka ”semiring” apa pun nada suara (publik) tetap patut didengar. Siapa tahu, meski terasa sember, suara itu bisa memberi sumbangan yang justru menjaga keseimbangan. Dengan kata lain, kesumbangan perlu dilihat bukan sebagai ’kejanggalan, kemiringan’, apalagi ’sesat’ atau ’haram’, tetapi varian (pendapat misalnya) yang merupakan bagian dari keragaman.
Pada titik ini sangat relevan menyimak gugus padanan kata sumbang yang kedua: bantu, tolong, sokong sebagai verba; atau bantuan, pertolongan, sokongan sebagai nomina. Tak perlu berpanjang kalam, sumbang dalam makna filantropik ini tumbuh subur dalam masyarakat kita. Tradisi gotong royong di berbagai sudut Nusantara pada dasarnya berintikan unsur sumbang(an): tidak harus berupa uang atau materi, tetapi juga tenaga, saran, dan empati.
Setelah 65 tahun merdeka, tetapi rasa keindonesiaan ditengarai malah terkoyak, rasanya kita perlu memaknai kembali nilai sumbang dalam berbagai kearifan kolektif kita. Seperti prinsip dalihan na tolu (Batak), sambatan (Jawa), ngopin (Bali), mapalus (Minahasa), pela gandong (Ambon), dan lain-lain perlu direvitalisasi sejalan dengan kebutuhan zaman demi kehidupan bersama yang lebih guyub.
KASIJANTO SASTRODINOMO Pengajar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar