Kamis, 27 Januari 2011

Balada Ejaan Lama

Cepat atau lambat ejaan lama bahasa Indonesia—sebelum Ejaan yang Disempurnakan (EYD)—bakal tak dikenali lagi oleh generasi sekarang dan mendatang. Gejalanya terlihat di sebuah tempat pembayaran telepon. Di situ petugas loket salah panggil nama pelanggan yang masih tertulis dalam ejaan lama. Sebutlah nama Kasijanto, yang seharusnya diucapkan kasiyanto menurut empunya, dibaca petugas menjadi kasijanto sesuai dengan EYD sehingga diperoleh bunyi janto seperti jantuk (tokoh lenong) pada penggal akhir nama.
Gejala itu berulang beberapa kali di tempat yang berbeda: bank, kantor pos, apotek, dan mungkin masih (akan) terjadi lagi. Kalau begitu, mengapa penulisan nama itu tidak diganti dengan EYD. Tak semudah itu karena akan berkomplikasi dengan dokumen resmi lain, seperti akta kelahiran, kartu tanda penduduk, dan suratan tanda tangan. Ketaksesuaian ejaan nama juga akan merepotkan saat berurusan dengan birokrasi, semisal administrasi kepegawaian. Jadi, berpikir positif saja, ”insiden” kecil itu hanya kesalahpahaman sederhana: petugas nirtakrif ejaan lain, atau merasa asing dengan nama diri yang terdengar tak lazim.
Fakta kecil itu menyiratkan bahwa penerapan EYD mendekati sempurna dalam arti tak menggugah imajinasi orang pada ejaan lain yang berbeda. Di sini masalahnya: kita bersemangat memodernisasi bahasa Indonesia, tetapi cepat lupa akan keragaman yang pernah hidup dalam rahim bahasa itu sendiri. Kita tahu, bahasa Indonesia telah mengarungi enam sistem ejaan: Ejaan van Ophuysen (1901), Ejaan Soewandi atau Ejaan Republik (1947), Ejaan Prijono-Katoppo atau Ejaan Pembaharuan (1957, tak diberlakukan), Ejaan Melindo (1959, batal diresmikan), Ejaan Baru atau LBK (Lembaga Bahasa dan Kesusastraan, sekarang Pusat Bahasa, 1967), dan Ejaan yang Disempurnakan sejak 1972.
Tampaknya generasi kelahiran 1970-an dan seterusnya—seperti beberapa petugas teknis di tempat pelayanan umum itu—tak beroleh informasi cukup tentang varian ejaan bahasa Indonesia semasa sekolah. Petunjuknya cukup jelas: umumnya buku pelajaran Bahasa Indonesia dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi tak mencantumkan riwayat ejaan, sekadar lampiran sekalipun. Pembahasan tentang ejaan ditekankan pada teknik mengeja, seperti penggunaan huruf kecil/besar, tanda baca, pemenggalan kata, dan seterusnya.
Buku pelajaran sejarah yang memuat nama organisasi atau tokoh historis mestinya bisa jadi alternatif untuk mengenalkan ejaan lama kepada siswa. Ternyata tidak juga. Nama tokoh pergerakan nasional yang, sesuai dengan zamannya, tertulis dalam Ejaan van Ophuysen sudah di-EYD-kan. Tjipto Mangoenkoesoemo, misalnya, tertulis Cipto Mangunkusumo dalam sebuah buku pelajaran sekolah dasar (2007), tanpa penjelasan tentang penggunaan ejaan (misalnya dalam pengantar) seperti lazimnya buku teks. Pengalihan ejaan ”nama lawas” ke dalam EYD memang langkah praktis, tetapi seyogianya diberi catatan temali historisnya.
Alih rupa ejaan arkais memang tak perlu ditangisi. Jejaknya diyakini tak bakal lenyap sama sekali dari khazanah bahasa Indonesia. Setidaknya kajian budaya yang menuntut autentisitas teks sebagai sumber, seperti antropologi, arkeologi, filologi dan sejarah, akan merawatnya.
KASIJANTO SASTRODINOMO Pengajar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar