Kamis, 27 Januari 2011

Piala Oscar?


Kapan Oscar berwujud piala? Seorang ahli nujum sekalipun tak akan sanggup meramalkan bilamana Academy of Motion Picture Arts and Sciences mengganti patung anak manusia berlapis emas yang berdiri tegak dan bersedekap gubahan pemahat George Stanley (1928) itu dengan trofi berbentuk cawan untuk menghargai insan perfilman Amerika (dan dunia lain) yang dinilai berprestasi.
Kita juga belum baca berita bahwa pernah ada keinginan lembaga pemberi penghargaan perfilman di Amerika itu, misalnya, meminumkan anggur kepada Meryl Streep dari sebuah piala atas kecakapannya berlakon dalam Sophie’s Choice.
Akan tetapi, insan pemberitaan Indonesia sudah mendahului zaman. Tersua di layar kaca, ”Jelang Piala Oscar”, dalam siaran sebuah stasiun TV pada Minggu, 7 Maret lalu.
Oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, piala ditakrifkan sebagai (1) cawan berkaki terbuat dari emas, perak, dan sebagainya dipakai sebagai tempat minum raja-raja dan orang-orang besar; (2) cawan berkaki, kadang-kadang bertelinga, biasanya diberi tulisan sebagai tanda peringatan dan terbuat dari emas, perak, dan sebagainya dipakai sebagai hadiah para pemenang lomba. Webster dalam lema cup kurang lebih berpendirian sama. Untuk cawan yang dipakai sebagai hadiah, Webster menyebutnya sebagai ornamental cup offered as a prize (as in a championship).
Jadi, penghargaan yang berbentuk cawan berkaki saja yang disebut piala. Para penggemar sepak bola ataupun bulu tangkis tentu sependapat: Piala Dunia dan Piala Thomas termasuk ornamental cup! Maka, jangan pernah ragu menyebut World Cup atau Thomas Cup.
Oscar Cup. Apa kata dunia? Maka, jangan perkenalkan Piala Oscar. Orang sana toh menyebut Oscar tanpa embel-embel apa pun! Bagaimana dengan Piala Citra? Pematung Gregorius Sidharta Sugiyo menciptakan penghargaan buat insan perfilman Indonesia itu tidak dalam bentuk cawan. Sebut saja: Citra, jangan piala sebab wujud benda itu tak ada urusan dengan minum-minum. Namun, insan perfilman dan wartawan Indonesia menyebutnya sebagai piala? Bahkan, dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, pengamat seni rupa Agus Dermawan T menyebutnya sebagai Piala Citra.
Agaknya kita perlu mengikuti pertobatan berbahasa: sadar dan menyesal akan kesalahan masa lalu dan berniat memperbaikinya mulai sekarang. Piala yang dipaksakan sebagai sebuah kata berhomonim dengan dua makna, cawan berkaki dan sembarang penghargaan, termasuk jenis kesalahan berbahasa yang pelakunya perlu mengikuti pertobatan.
Contoh lain kesalahan yang memerlukan pertobatan berbahasa menemukan aktualitasnya pada ungkapan banjir kanal timur atau banjir kanal barat. Apakah yang sedang dikerjakan di belahan timur Jakarta untuk mengatasi banjir? Jawabnya: membuat kanal atau terusan, bukan menciptakan banjir. Jadi, hasil pekerjaan itu pastilah kanal atau terusan: Kanal Timur atau Terusan Timur.
SALOMO SIMANUNGKALIT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar