Kamis, 27 Januari 2011

"Bos bubalus"

Tiba-tiba kerbau masuk istana kepresidenan yang di Cipanas, Jawa Barat. Hati boleh panas, tetapi kepala harus tetap dingin. Tentu nasihat ini yang kita ajukan kepada para penjaga istana andaikan kerbau, yang bernama ilmiah Bos bubalus, benar-benar memasuki simbol kenegaraan itu. Kerbau yang saat ini menjadi pembicaraan publik hanyalah dari sudut buruknya sebagai simbol kelambanan.
Kerbau merupakan salah satu tanda paripurna dalam adat Batak Toba. Hewan yang dipotong saat seseorang meninggal dunia dengan status saur matua—paripurna selaku orangtua karena semua anaknya, baik yang lelaki maupun yang perempuan, telah menikah dan punya keturunan—tentulah kerbau. Di Toraja kerbau merupakan hewan bermakna sangat tinggi, dianggap suci, dan melambangkan kemakmuran sehingga berharga puluhan, bahkan ratusan juta rupiah. Di beberapa daerah lain terhormat pula kedudukan satwa ini.
Di ranah bahasa Indonesia, ungkapan baku yang menggunakan kata kerbau beragam makna: negatif, positif, dan netral. Paling tidak berdasarkan pada sumber-sumber tersurat.
Mari menengok Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Pusat Bahasa. Lema kerbau dimulai dengan batasan bahwa kata berkelas nomina ini bermakna ”binatang memamah biak yang biasa diternakkan untuk diambil dagingnya atau untuk dipekerjakan (membajak, menarik pedati), rupanya seperti lembu dan agak besar, tanduknya panjang, suka berkubang, umumnya berbulu kelabu kehitam-hitaman”.
Belum sempat bernapas, kita langsung disodori dengan makna kiasan bahwa kerbau setali tiga uang dengan orang bodoh. Kerbau runcing tanduk adalah ungkapan untuk menggambarkan orang yang terkenal kejahatannya. Menghambat kerbau berlabuh berarti mencegah sesuatu yang akan mendatangkan keuntungan atau kesenangan kepada orang.
Kerbau menemukan aktualitasnya sebagai pihak yang dirugikan tersua dalam kerbau punya susu, sapi punya nama, ”seseorang yang berbuat kebaikan atau bersusah payah, orang lain yang mendapat pujian”. Sebagai satwa yang dalam jumlah banyak tak menyulitkan penjaganya, kerbau tercatat dalam peribahasa kerbau seratus dapat digembalakan, manusia seorang tiada terkawal. Terpaksa saya harus minta maaf kepada penganut feminisme karena peribahasa itu, menurut sumber tertulis, berarti ”menjaga seorang perempuan lebih sukar daripada menjaga binatang yang banyak”.
Orang Indonesia tak peduli dengan waktu? Kerbau mengingatkan kita bahwa dia dipakai dalam ungkapan Melayu sebagai penunjuk waktu. Kerbau turun berendam, ini kiasan untuk menyatakan bahwa kini pukul lima petang.
Akhirnya kita sampai pada kebaikan kerbau. Kalau kelihatan akan menanduk anaknya, jangan percaya bahwa ia sedang melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Tak percaya? Kerbau menanduk anak, menurut kitab peribahasa, tak lain tak bukan ”hanya pura-pura saja, tidak sungguh-sungguh”.
SALOMO SIMANUNGKALIT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar