Kamis, 27 Januari 2011

Lupa Embara


Embara? Kedengarannya asing di telinga kita. Padahal, kata itu sangat sering dipakai dalam rupa berimbuhan: mengembara dan pengembara. Pengembara dapat dipadankan dengan kelana (mengapa harus pengelana?), kata puitis yang sering tersua pada cerita tempo hari. Embara adalah kata asal, tetapi lebih kerap kita jumpai dalam bentuk kembara.
Kita sering lupa dengan asal-usul kata sehingga acap kali menggunakan deretan kata berimbuhan dalam kalimat. ”Pak Ahmad sangat memedulikan anak-anaknya”, padahal kalimat itu dapat ditulis sebagai ”Pak Ahmad sangat peduli anak-anaknya”. Contoh lain: ”Pemerintah memperingatkan agar pelaksanaan peraturan perlalulintasan serta pengawasannya dapat terlaksana dengan melakukan penataan birokrasi kepolisian.” Terlalu banyak kata berimbuhan. Tentu saja kalimat semacam itu tak mudah dicernakan, selain tak terang-benderang. Kenapa bukan: ”Pemerintah ingatkan agar laksana peraturan lalu lintas serta awasannya dilakukan dengan tataan birokrasi kepolisian” saja? Dalam hal ini, apa beda arti pelaksanaan dengan laksana, pengawasan dengan awasan, atau antara memperingatkan dengan ingatkan? Begitu pula antara penataan dengan tataan?
Kata kembara memang lebih dihargai di Malaysia. Juga Brunei. Ia sering digunakan tidak hanya dalam bentuk cerita, tetapi juga dalam lirik lagu. Di Indonesia paling Titik Hamzah, pencipta lagu, yang menggunakan kata ini dalam karyanya, ”Kembara di Tepi Senja”, yang masuk tiga besar dalam Festival Lagu Populer Tingkat Nasional 1981.
Adalah Aishah, penyanyi Malaysia sekelas Berlian Hutauruk di sini, yang membawakan nyanyian liris: Tiada kata secantik bahasa/kan ku puji kakanda/Tiada gambar secantik lukisan/kan ku tunjukkan perasaan; kakak puspa kemala/mengharum jiwa/ mm.. kakak puspa kemala/mustika dinda/Namun musim berubah/suasana berubah/tapi ikatan mesra/sedikitpun tak berubah/Tiada kata secantik bahasa/ku puji kakanda.
Jangan bayangkan lagu itu di zaman P Ramlee. Aishah menyanyikannya dengan langgam jazz-tango, enak diikuti, dan dibawa ke kalbu. Bandingkan dengan lirik lagu-lagu pop kita yang miskin makna selain mengada-ada kata.
Ada apa dengan puspa, kemala, mustika, atau kakanda sekalipun? Bukankah itu kata-kata berpangkal dari sini? Banyak sekali kata milik kita yang dilupakan, tetapi diserap oleh Malaysia? Malukah bila kita tuding mereka telah membajak milik kita? Seakan lagu itu menyindir tiada kata secantik bahasa? Malaysia memanfaatkan betul forum Majelis Bahasa Brunei Indonesia dan Malaysia yang telah lama ada dan selalu bersidang secara berkala untuk mengembangkan bahasa.
Siapakah yang dapat disalahkan? Televisi? Mungkin. Zaman? Memang karut-marut. Budaya? Memang menurun. Lihatlah siaran televisi, anggota DPR, atau adab berlalu lintas. Mungkin banyak yang kita salahkan. Saya hanya ingin mencatat satu hal: tidakkah perlu meningkatkan peran Pusat Bahasa, lembaga di bawah Kementerian Pendidikan Nasional? Di Malaysia yang menangani urusan ini adalah Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP). Institusi itu berpengaruh atas bahasa dan penerbitan. Ia berwenang dan proaktif soal bahasa, semantik, dan produksi kata (penerbitan). Media massa patuh dan merujuk pada buku panduan yang dikeluarkan DBP. Kita? Media massa dengan segala lagaknya leluasa memproduksi kata yang lalu ditelan orang banyak. Peran Pusat Bahasa? Ia seperti lemah syahwat karena tidak diperhatikan.
Zulhasril Nasir Pengamat Komunikasi, Pusat Tamadun Melayu UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar