Kamis, 27 Januari 2011

Matinya Penumpang

Sebuah bus pengangkutan umum berjalan perlahan keluar dari Terminal Kampung Rambutan Jakarta. Di belakang kendaraan itu, dalam jarak sepelempar, seseorang bergegas mengejar bus. Sopir tak menghentikan kendaraannya. Kenek melihat gelagat orang itu lewat kaca spion. Kepada sopir, sang kenek berteriak, ”Ada sewa, ada sewa.”
Sewa, bukan penumpang. Sopir dan kenek kendaraan pengangkutan umum di Jakarta seolah tabu menggunakan kata penumpang menyebut 'orang yang naik kendaraan umum'. Sejak kapan dan mengapa para awak kendaraan umum di Jakarta memilih sewa dan menampik penumpang? Saya tak tahu. Yang pasti, di Sumatera Utara hal itu kaprah belaka.
Namun, saya punya hipotesis mengapa mereka menyingkirkan penumpang dari perbendaharaan bahasa mereka. Di tahun 1980 saya pertama kali menginjak Jakarta. Dua hari saya berpelesir di atas bus kota, yang saat itu populer sebagai bus PPD. Maksudnya, Perusahaan Pengangkutan Djakarta. Dengan tarif Rp 50 sekali naik, sepanjang perjalanan Cililitan-Lapangan Banteng saya manjakan mata mengamat-amati lanskap ibu kota. Hari kedua saya melanglang di atas roda PPD dengan rute lain.
Sebagai pelajar SMA di kota kecil, 1.000 kilometer dari arah timur Jakarta, saya terperangah bukan oleh pemandangan di luar, tapi kejadian di dalam bus! Beberapa kali peristiwa itu berlangsung. Anak-anak SMA menghentikan bus. Mereka naik. Kondektur minta ongkos. Dengan nada datar mereka membalas, ”Numpang, Bang.” Yang disapa Bang melengos dengan muka kecut. Dalam sehari, sepekan, sebulan, setahun, berapa kali para kondektur mendengar kosakata yang masam ini? Itu sebabnya mereka membalas dendam: tak sudi mengucapkan kata itu beserta turunannya. Mampuslah kau penumpang!
Meski bukan linguis, mereka jitu tatkala menemukan sewa sebagai alternatif. Maksud mereka tentulah penyewa. Urusan keringkasan dengan melesapkan awalan, buat mereka, lebih utama ketimbang formalisme linguistik, yang memilah kata dalam kelas-kelas. Bukankah rampok sudah halal dipadankan dengan perampok, meski rompak terasa haram disepantarkan dengan perompak?
Kamus-kamus memaknai sewa sebagai 'pemakaian sesuatu dengan membayar uang'. Frasa kuncinya: membayar dengan uang. Itu berlainan arti dengan tumpang yang menurunkan (me)numpang dan penumpang. Makna tumpang: 'turut, ikut serta, membonceng'. Lazimnya orang yang turut, ikut serta, atau membonceng tak diwajibkan membayar dengan uang.
Kini perkara sewa beralih ke pundak pekamus. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV Pusat Bahasa dan Tesaurus Bahasa Indonesia Eko Endarmoko belum menambahkan arti sewa sebagaimana dimaksud para penggunanya. Kalau jumlah kendaraan pengangkutan umum di Jakarta ratusan ribu, sedikitnya ada lebih dari angka itu pengucap kosakata sewa. Sopir, kenek, calo, timer (nah, mereka menciptakan satu lagi makna baru untuk alat pengukur waktu) di ibu kota pastilah pernah mengucapkan sewa untuk arti yang Inggrisnya adalah passenger.
Penggusur penumpang tampaknya tak cuma awak kendaraan umum darat, pramugari maskapai penerbangan swata pun menyapa ”bapak dan ibu terhormat” alih-alih ”penumpang terhormat” saat hendak memeragakan penggunaan perlengkapan keselamatan sebelum pesawat tinggal landas. Bagaimana dengan awak kapal laut? Cepat atau lambat mereka pun sepakat menolak kehadiran penumpang yang hanya bikin perusahaan merugi kalau bukan bangkrut. Penumpang akhirnya terkubur setelah disingkirkan dari matra darat, udara, dan laut. RIP for penumpang.
Mulyo Sunyoto Magister dalam Linguistik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar