Kamis, 27 Januari 2011

”Jangan Nyampah di Kali”


Jangan nyampah di kali!” begitu kata Gubernur Fauzi Bowo. Kelihatannya seperti tindakan berbahasa biasa saja. Padahal, ini penting. Mengapa? Pak Gub menggunakan bahasa yang akrab dengan masyarakat Jakarta, khususnya yang tinggal di tepi sungai. Perhatikan! Ia tidak mengatakan, ”Jangan membuang sampah di sungai.”
Dalam kebijakan publik memang ada yang disebut dengan aspek afektif. Bahasa penduduk Jakarta nyampah dan kali akan langsung masuk ke dalam hati masyarakat kecil di Jakarta. Lebih dari itu, nyampah tak sepenuhnya sepadan dengan frase membuang sampah. Kata nyampah selain bernilai afektif, juga tak sekadar bermakna ’membuang sampah’. Nyampah bermakna ’mengotori dengan sampah’. Jadi, Pak Gub–tanpa ia tahu–telah menembak dengan dua peluru sekaligus: menggunakan bahasa dari kalangan ”bawah” untuk memperoleh dampak afektif dan memberikan makna yang lebih dari sekadar ’membuang’, tetapi ’mengotori’.
Di beberapa tempat di Jakarta saya melihat kain rentang dengan tulisan ”Stop Nyampah di Kali”. Sayang sekali kalimat Gubernur Fauzi tak sepenuhnya dipahami dari segi makna kewacanaannya. Seharusnya ada upaya terus-menerus mengembangkan kalimat Bang Fauzi. Dari kalimat ini akan dapat dilahirkan ”Jangan nyampah di got”, ”Jangan nyampah di mana-mana”, ”Jangan nyampah sembarangan”. Kata nyampah dengan demikian menjadi ”kata generator” yang dapat secara terus-menerus digunakan dalam komunikasi publik dalam upaya membudayakan penduduk Jakarta untuk tidak mengotori kotanya dengan sampah, tidak mengotori sungai dengan sampah, dan tidak menyumbati got-got dengan sampah.
Upaya membudayakan jangan nyampah harus dilakukan tanpa henti dan pada waktu tertentu diangkat lagi. Tujuan akhirnya adalah agar nyampah menjadi kata yang dibenci. Tentunya tidak hanya sampai di situ. Pemda harus secara sistematis memberikan kemudahan kepada penduduknya membuang sampah ke tempat sampah yang sudah disediakan (dan tidak mudah dicuri).
Pembedaan atas sampah organik dan nirorganik hemat saya belum diperlukan pada tahap ini. Buktinya selama ini tidak berhasil karena, selain tidak dipahami, belum dirasakan manfaatnya. Menurut saya, yang penting membedakan antara ”sampah” dan ”botol”. Ini akan membantu para pemulung mengais rezeki. Selain itu diperlukan pendidikan membakar dan mengolah sampah di kelurahan yang sosialisasinya melalui RT dan RW. Akan tetapi, perlu diingat: semua ini tak dapat lagi dilakukan secara amatiran dan panas-panas tahi ayam seperti sudah terjadi selama ini. Jangan nyampah seharusnya menjadi program Pemda yang dilakukan secara terencana dan berkelanjutan. Mengapa? Karena penanggulangan masalah sampah akan mengurangi genangan air di Ibu Kota RI di musim hujan.
Masyarakat kita masih belum lepas dari pola komunikasi vertikal. Ini warisan dari zaman kuno. Sejarawan Prancis Braudel mengemukakan bahwa sejarah (baca: perubahan) yang bergerak paling lambat adalah sejarah mentalité yang dapat mencakupi masa berada-abad. Komunikasi vertikal masih efektif karena masih hidup dalam lubuk budaya kita. Karena itu, kalau ingin serius membuat ”Jakarta bersih”, seperti telah dilakukan Pemda dengan membuat ”Jakarta hijau”, Pak Gub jangan bosen-bosen mengucapkan ”Jangan nyampah” yang didukung oleh program ”jangan nyampah”. Insya Allah, setelah setahun, nyampah menjadi kata yang dibenci orang Jakarta. Dan kota ini, selain menjadi kota yang hijau dan bersih, juga bebas dari genangan air.
BENNY H HOED Guru Besar Emeritus FIB-UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar