Kamis, 27 Januari 2011

Century

Andai tak terjadi geger Bank Century, kata century mungkin hanya diakrabi para peminat sejarah dan pencandu film bioskop di Tanah Air. Sejak kali pertama muncul sebagai publikasi sekitar 450 tahun lalu, century dikukuhkan sebagai istilah sejarah yang mengacu pada rentang waktu seratus tahun. Kita menerjemahkannya menjadi abad, dipetik dari bahasa Arab. Kemudian century dikenal luas sebagai merek dagang sebuah perusahaan film Hollywood dan nama sindikasi gedung bioskop di Indonesia. Mungkin karena terkesan keren, kata itu banyak digunakan untuk penamaan atau sebutan lain-lain.
Sebagai konsep, century lahir dari rahim gerakan Reformasi Gereja di Eropa pada awal abad ke-16. Martin Luther, tokoh Reformasi, memandang bahwa untuk ”memurnikan kembali ajaran Kristiani dari tumpukan tradisi selama berabad-abad” diperlukan pemahaman tentang perkembangan gereja itu sendiri. Ia meminta kepada sekelompok sarjana Lutheran, dipimpin Matthias Flacius Illyricus, menulis sejarah gereja sejak abad pertama Masehi. Hasilnya: opus 13 jilid Magdeburg Centuries yang disusun 13 tahun (1559-1574). Artinya, setiap tahun terbit satu jilid yang mencakup waktu seratus tahun. Istilah century dijadikan batas setiap volume buku itu (Ernst Breisach, Historiography: Ancient, Medieval & Modern, 1983).
Sejak saat itu century menjadi konsep waktu berjangka panjang yang dikenal dalam historiografi Barat. Kata lain yang setara dengannya adalah age atau ages, yang juga kita terjemahkan menjadi abad. Penggunaannya berbeda: century selalu digandeng dengan numeralia bertingkat (misalnya tenth century, ’abad ke-10’), sedangkan age(s) dijejer dengan adjektiva ataupun nomina (golden ages ’abad keemasan’). Dalam bahasa Indonesia abad bisa digunakan untuk dua konteks itu: abad ke-21 ataupun abad kemakmuran.
Contoh penggunaan century terlihat dalam judul buku lama Bernard Dahm, History of Indonesia in the Twentieth Century (1971); sedangkan age digunakan dalam buku saku Stuart Hampshire, The Age of Reason (1955). Penggabungan century dan age dalam satu nafas judul terbaca pada esai sarjana Jepang, Tsuchiya Kenji, ”Javanology and the Age of Ronggowarsita: An Introduction to Nineteenth Century Javanese Culture” (1990; huruf miring ditambahkan).
Seperti abad, kata century dibayangkan untuk suatu keabadian. Dalam ungkapan yang berbeda, sejarawan Perancis, Fernand Braudel, melahirkan konsep la longe durée untuk melukiskan ”waktu sejarah” yang sangat panjang, penuh dinamika, tetapi sering tak disadari manusia yang melintasinya.
Kepada manusia yang bergumul dalam kemelut waktu sejarah, Braudel berpesan, Nee pas penser dans le seul temps court, ne pas croire que la seuls acteurs qui font du bruit soient le plus authentiques (dalam Annakes, 13/1958). Kira-kira, ”Jangan hanya berpikir jangka pendek, jangan percaya bahwa aktor-aktor yang berisik itu yang paling autentik.”

KASIJANTO SASTRODINOMO  Pengajar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan BudayaUniversitas Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar