Kamis, 27 Januari 2011

Satwa dan Politik


Hubungan antara satwa dan politik sudah terjalin sejak zaman baheula yang mewujud dalam bahasa lambang (heraldiek) seperti patung, bangunan monumental, bendera negara, dan lain-lain. Pada bagian bangunan istana raja atau puri bangsawan di Eropa, misalnya, biasa ditemukan patung singa atau garuda sebagai ornamen gedung. Singa pula sejak abad ke-5 sebelum Masehi dipajang etnik Sinhale di Sri Lanka sebagai hiasan bendera. Sementara, Bhutan—sesuai dengan arti namanya, ”negeri naga”—memilih naga sebagai markah bendera nasional.
Satwa besar itu melambangkan kekuatan dan kekuasaan atau prestise sosial tertentu. Mungkin lambang itu tercipta ketika kebudayaan manusia, mengutip van Peursen, masih diliputi alam pikiran mitis, saat subjek tak berjarak dari objek sekitarnya. Namun, mengikuti Roland Barthes (dalam Mythologies, 1972), alam pikiran semacam itu sejatinya melintasi ruang dan waktu meski dalam konteks yang berbeda. Tak heran jika kaum konservatif di Amerika Serikat kepincut gajah untuk atribut Partai Republik; logo beruang terpampang pada bendera Negara Bagian California setelah lepas dari Meksiko sejak abad ke-19.
Di Indonesia partai nasionalis yang dibentuk pada masa jajahan berlambangkan sosok banteng yang gagah, sekaligus menorehkan ideografi perlawanan terhadap kolonialisme. Selain satwa mamalia perkasa itu, para pendiri negeri kita memilih burung garuda sebagai lambang negara. Profil unggas itu banyak terpahat pada relief candi kuno di Indonesia sehingga diyakini sebagai satwa perwira nan sakti, dan kita percaya Sang Garuda mampu menjaga semboyan pelangi kebinekaan dalam keutuhan negeri ini.
Belakangan kosakata relasional satwa-politik terasa makin ekstensif sekaligus degradatif karena tak terbatas pada sebutan binatang besar atau mitologis, tetapi juga meraup jasad renik dan hewan kotor lain. Jika heraldik klasik merepresentasikan gagasan keagungan, bahkan kekeramatan bak pusaka, wicara satwa-politik kontemporer mencerminkan pragmatisme sesaat. Maka, tak perlu gusar jika terdengar ungkapan gurem untuk partai politik bawah banderol: kutu loncat bagi politikus yang gampangan pindah partai dan bunglon yang menyindir kader partai oportunistik.
Ekspresi verbal dan tulisan tampaknya tak cukup kuat melukiskan ”dinamika” kepolitikan kita sehingga perlu simbolisasi hewani yang aneh-aneh. Belum lama Buya Syafi’i Ma’arif menengarai elite politik kita sekarang ”bermental lele” (Kompas, 2/6). Ikan lele senang berkubang di air keruh karena beroleh banyak makanan. Maknanya, (sebagian) politikus kita sibuk ”cari makan” sendiri ketimbang bekerja tulus demi rakyat. Ungkapan Buya melengkapi tamsil licin bagai belut, binatang sawah lain, dalam caturan politik kita. Terakhir, seorang ketua umum partai ”mengajari” kadernya berlaku layaknya tikus: endus dulu, gigit kemudian.
Jangan lupa, negara kita juga menggaji direktur satwa. Ini bukan bos kebun binatang, tetapi komandan pada instansi kepolisian berjuluk Direktorat Satwa. Tugasnya melatih, merawat dan angon kawanan anjing pelacak penjahat, penyelundup narkoba, dan teroris. Yakin, kalau media meliput soal ini, pasti tidak terjadi pemborongan secara gelap sebelum beredar.
KASIJANTO SASTRODINOMO Pengajar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar