Kamis, 27 Januari 2011

Daeng dan Tuan


Ruhut Sitompul diprotes oleh sesama rekannya di DPR gara-gara menyebut daeng saat menyapa Jusuf Kalla dalam rapat Panitia Khusus DPR tentang Hak Angket Bank Century tempo hari. Pemrotes merasa tersinggung oleh penggunaan sebutan itu, sementara JK tidak bereaksi. Di Makassar, kampung halaman JK, ia memang biasa dipanggil Daeng Ucu oleh kerabat dekatnya. Ruhut juga beralasan bahwa sapaan daeng biasa diucapkan oleh kalangan politik yang akrab dengan mantan wakil presiden itu.
Selain daeng, terdapat tiga gelar tradisional, yaitu karaenta, puatta, dan andi, yang disandang oleh anakarung (bahasa Bugis) atau anakaraeng (Makassar) yang merupakan golongan bangsawan di Sulawesi Selatan. Dalam perkembangan sejarah Nusantara, kelompok daeng, di bawah pimpinan Daeng Perani, pantas dicatat karena peran mereka meletakkan daulat Kesultanan Johor di Semenanjung Tanah Melayu pada abad ke-18. Dengan kedudukan dan reputasi historis itu, mengapa ada yang tersinggung ketika daeng disebut-sebut.
Tampaknya penggunaan gelar (tradisional) sebagai kata sapaan memang perlu mempertimbangkan pergeseran konteks sosiokulturalnya. Dalam risalah ”Kebudayaan Bugis-Makassar” (1971) antropolog Mattulada melihat makna sosial daeng terasa menyurut setelah Perang Dunia, bahkan ”sering dengan sengadja diperketjilkan” seturut tumbuhnya modernitas dan demokrasi pada masyarakat Bugis-Makassar. Artinya, orang Bugis-Makassar sekarang cenderung mengunggulkan pencapaian usaha rasional ketimbang bersandar pada warisan kultural.
Contoh lain adalah sapaan tuan menemukan konteks kuat dalam relasi sosiokultural hierarkis antara colonizer ”penjajah” dan colonized ”terjajah” meminjam esai Dipesh Chakrabarty, Postcoloniality and the Artifice of History (1992). Tuan besar, misalnya, merupakan frase takzim warga terkolonisasi untuk menyembah penguasa jajahan. Seorang penjual arak gelap yang dihukum menulis surat kepada ”Sripadoeka Toewan Besar Gouvernour Generaal Adil Dermawan [yang] bertakhta [di] Batavia” untuk ”moehoen belas kasijan pengampunan” (dokumen Algemeene Secretarie 1918; Arsip Nasional Republik Indonesia).
Pada Kongres Bahasa Indonesia 1978, tuan sebagai sapaan resmi (di sebagian kalangan kedokteran dan hukum) diperbalahkan dalam sebuah sidang kelompok. Silang pendapat pun berkecamuk: tuan dinilai sebagai ekspresi penghambaan kolonial, bentuk neofeodalisme, kemelayu-melayuan, dan seterusnya. Muncul usul menggantinya dengan bapak, tetapi masih terasa vertikal; atau saudara, tetapi terlalu formal. Mungkin bosan mendengar gaduh peserta, sastrawan Mochtar Lubis, ketua sidang, memotong diskusi. Pilihan kata sapaan, ujarnya, tergantung pada ”ekosistem” yang dibangun; jadi bukan urusan Pusat Bahasa, melainkan hajatan Menteri Lingkungan Hidup.
Belakangan saya menyadari arti gurauan Mochtar Lubis. Mungkin ”ekosistem” yang dia maksud adalah lingkungan budaya yang selalu mengalami modifikasi dalam praksis. Jadi, raden, contoh lain lagi, dulu digenggam erat sebagai sanctuary kepriyayian Jawa, kini dibayangkan layaknya sesepuh masyarakat, seperti Pak Raden dalam serial Si Unyil di televisi.
KASIJANTO SASTRODINOMO Pengajar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan BudayaUniversitas Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar