Kamis, 27 Januari 2011

Martabat Tersangka


Didesak beberapa anggota DPR dalam sebuah rapat terbuka, mantan Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji bersikukuh tak bersedia membeberkan siapa sesungguhnya ”Mr X” yang diduga menjadi makelar kasus perkara hukum di kepolisian. Alasannya, ia tak ingin melanggar hukum dengan menyebut nama lengkap orang yang baru terduga atau tersangka sebagai pelaku kejahatan. Pesan moral yang tertangkap adalah meski seseorang ditengarai melakukan tindak pidana, martabatnya sebagai manusia harus tetap dijaga.
Nama samaran, seperti Mr X, atau inisial nama diri semisal ZZ atau Jr biasa digunakan sebagai bahasa proses hukum yang melindungi tersangka tetap sebagai manusia bermartabat. Istilah tersangka sendiri bertolak dari anggapan bahwa seseorang belum tentu bersalah sebelum diuji di meja hijau meski telah ditemukan bukti kejahatannya. Varian tersangka adalah terperiksa yang berlaku di kalangan internal kepolisian. Sebelum penetapan status tersangka, biasa digunakan frase patut diduga sebagai bentuk kehati-hatian. Asas praduga tak bersalah merupakan prinsip yang menghargai harkat kemanusiaan bagi mereka yang bermasalah hukum.
Para pengacara juga biasa memoles gengsi tersangka dengan ujaran bahwa kliennya datang ke pemeriksaan ”atas inisiatif, kemauan, atau kesadaran sendiri”. Maknanya, sang klien adalah orang yang sadar dan taat hukum serta ksatria. Sebaliknya, dijemput paksa atau ditangkap diterapkan bagi tersangka yang tidak kooperatif. Pada masa lalu kita juga mengenal penghalusan istilah proses hukum, seperti diamankan (ditangkap), dimintai keterangan (diinterogasi), dan diinapkan (ditahan). Kritik yang muncul adalah penghalusan itu bukan wujud penghormatan terhadap hak manusiawi tersangka, melainkan eufemisme bahasa untuk menyembunyikan kekejaman rezim.
Jadi, alangkah rapuhnya martabat tersangka. Desakan anggota DPR kepada Susno Duadji agar membuka misteri ”Mr X” di depan publik mencerminkan niat menepis asas praduga tak bersalah. Logikanya, buat apa membentengi nama jika sosoknya sudah ceta wela-wela bin gamblang di depan khalayak. Publik sendiri, termasuk media, mungkin karena gemas, merasa tak perlu rikuh menyebut nama asli tersangka. Atau, mereka akan menyemburkan idiom sadistis menurut versinya: disergap, dibekuk, dicokok, diciduk, digiring, diseret, digelandang, dijebloskan, dan entah apa lagi, untuk menyudutkan tersangka kriminal.
Jangan salahkan publik jika akhirnya mereka memilih kata yang mungkin bermakna ”degradatif” terhadap rimba peradilan, khususnya bagi tersangka tindak culika. Kalau saja sengkarut proses hukum kita bisa diurai secara jelas, jujur, dan terbuka, martabat tersangka niscaya terjaga dengan sendirinya, dan ungkapan ”kasar” pun akan sirna.
Di Yogyakarta, seorang teman membujuk saya mengunjungi SgPc yang mula-mula sangat dia rahasiakan. Saya siap menerima ajakannya asalkan dia bersedia membuka siapa sesungguhnya ”Mr SgPc” itu. Melegakan, inisial itu ternyata (warung) sega pecel di sudut kampus yang rindang.
KASIJANTO SASTRODINOMO Pengajar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar