Jumat, 18 Februari 2011

-teit, -tit, -tet, -tas

Pada bagian awal roman pendeknya, Bawuk, Umar Kayam memperkenalkan Tuan Suryo. Dia adalah ayah Bawuk, tokoh utama roman, yang menjabat sebagai onderdistricthoofd atau camat—zaman kolonial. Layaknya pejabat kala itu, Tuan Suryo mau tak mau harus mengikuti gaya hidup Eropa, seperti main kartu dan biliar di soos, kependekan dari sociëteit, mengacu klub gaul orang Eropa dan elite pribumi di Hindia Belanda masa itu.
Bunyi akhir -teit pada sociëteit sama dengan -ty pada society dalam bahasa Inggris. Meski terdengar mirip, kedua kata itu tidaklah sama arti. Padanan sociëteit dalam bahasa Inggris adalah club house. Namun jelas, baik sociëteit maupun society berkaitan ihwal bersosialisasi. Mengikuti kajian Sartono Kartodirdjo dan kawan-kawan, Perkembangan Peradaban Priyayi, kata soos menjadi bagian penanda kaum homines novi alias manusia baru, yakni para priyayi pejabat pangreh praja dan kaum terpelajar didikan kolonial yang tampil sejak menjelang peralihan abad.
De Harmonie adalah soos pertama yang dibangun di Batavia dan menjadi klub nongkrong elite tertua di Asia. Selain tempat rapat organisasi, soos berfungsi sebagai ruang publik, arena pementasan sandiwara, pesta sekolah, dan sebagainya. Dari sudut politik kolonial, soos bahkan bisa menjadi cara ukur loyalitas pejabat pribumi kepada bos kolonialnya. Sering atau jarangnya seorang pejabat pribumi menghadiri undangan residen dalam acara di bangsal soos menjadi cermin kesetiaan atau kebalahan bawahan terhadap atasan.
Ketika Indonesia merdeka, soos pun surut. Bahasa Belanda diamputasi meski sejumlah kata terserap ke dalam bahasa Indonesia tanpa kesulitan dalam ejaan, semisal proclamatie menjadi proklamasi. Namun, kata berakhir -teit sedikit membingungkan. Bahkan, tak lama setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, muncul perguruan tinggi bernama Nooduniversiteit van Indonesië (Universitas Darurat Indonesia, 1946), kemudian berubah menjadi Universiteit van Indonesië (1947), dan Universiteit Indonesië kemudian Universitas Indonesia (1950). Eksperimen dibuat dengan menganggit universitit pada Universitit Gadjah Mada (1949). Tatkala dibuka pertama kali, universitit itu memiliki empat fakultit eksakta dan tiga fakultit noneksakta.
Melihat kesimpangsiuran tersebut, Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan kala itu, Mr Muhammad Yamin, akhirnya memutuskan: bukan memilih
-teit atau -tit, tetapi kembali ke biang bahasa Eropa, yakni kata berbunyi akhir -tas yang bersumber Latin. Jadilah sebutan universitas dan fakultas sampai sekarang. Mungkin hanya Koentjaraningrat yang taat asas mempertahankan ragam -teit hingga 1980-an, tetapi disulih menjadi -tet, seperti terlihat dalam bunga rampainya, Kebudayaan, Mentalitet, Pembangunan. Dalam berbagai kesempatan, pakar antropologi itu menyunting kata aktivitet, identitet, minoritet, dan sebagainya.
Yang ingin disampaikan dalam kolom ini adalah, kita sejatinya punya kekuasaan dan kebebasan penuh untuk menjinakkan kata asing yang menyusup ke dalam bahasa sendiri. Namun, acap kali pula kita tunduk terhadapnya demi pasar atau tanpa alasan jelas.
KASIJANTO SASTRODINOMO Pengajar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia KOMPAS, 18/02/2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar