Jumat, 18 Maret 2011

Wisma, Hotel, atau Pondok?


Apakah kriteria penggolongan akomodasi dengan sebutan wisma, pesanggrahan, pondok, motel, dan hotel? Apakah penggolongan ini sekadar penyebutan saja?
Bila kita pergi ke daerah wisata di pegunungan, pantai, atau kota kecil lain di Indonesia, banyak sebutan untuk akomodasi dan umumnya sulit dibeda-bedakan. Ada wisma yang menyediakan penginapan sekaligus ruang seminar, pelatihan, rapat bahkan kongres. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, wisma adalah bangunan untuk tempat tinggal, kantor, dan sebagainya. Wisma oleh kamus itu adalah juga kumpulan rumah, kompleks perumahan, atau permukiman.

Rabu, 09 Maret 2011

Demi

Mengobrol dengan warga beberapa kampung di Jawa Barat dan Banten terasa menggelitik. Tidak sedikit dari mereka yang memiliki kebiasaan membubuhi kalimat yang diucapkan dengan kata demi buat menegaskan ”kejujuran”. Umpamanya, ”Saya mah, demi, kalau masak sayur enggak pernah pakai mecin.” Atau, ”Demi, ini mah demi, nih! Mendingan enggak makan saya mah daripada nipu atawa nyolong. Allah teh ningali.” Maksudnya, Allah Mahamelihat.
Kiranya Anda bisa menebak arti demi yang mereka maksud. Ya, betul, demi yang sering mereka gunakan itu adalah partikel yang lazim diterapkan penutur bahasa Indonesia secara luas. Dengan partikel itu mereka ingin mengatakan (lengkapnya) ”demi Allah” atau ”demi Tuhan”, namun kata Tuhan atau Allah dilesapkan atau tidak diujarkan. Tampaknya perilaku ini sudah merupakan kebiasaan di kalangan mereka sehingga dilontarkan begitu saja sebagai bagian dari langgam lisan yang santai.
Mereka tidak bermaksud membikin tegang suasana dengan perkataan yang didramatisasi walau tampaknya ada juga kemungkinan ”menguasai persepsi” lawan bicara dengan cara itu. Bahkan, mereka tega ber-demi-demi terhadap lawan bicara sekalipun yang diobrolkan sekadar perkara mimpi kemarin malam atau si anak yang masih kerap mengompol biarpun sudah duduk di kelas tiga SD.
Secara pribadi saya tak bisa menerka apakah mereka menyadari atau tidak bahwa dengan melesapkan kata Tuhan atau Allah, mereka telah mengambil ”jalan aman” dalam ”kalimat sumpah” itu. Aman karena mereka tidak bersumpah secara formal dan ”memenuhi syarat”. Aman karena mereka sebetulnya tidak sungguh-sungguh bersumpah meski secara implisit mereka tetap ingin menandaskan bahwa mereka tidak main-main dengan ucapan mereka.
Apakah perilaku ini mencerminkan kelurusan hati dalam melontarkan omongan? Atau, justru menganggap enteng nilai perkataan? Apakah mereka benar-benar jujur ketika ber-demi-demi? Entahlah, tetapi kalau Anda mendengar sendiri cara mereka bicara dengan gaya yang polos, mungkin akan terasa kocaknya. Apalagi, kalau Anda amati air muka yang tanpa beban saat mereka sedang bersumpah ”demi”.
Apa pun interpretasi kita tentang gaya bicara sebagian warga masyarakat pedesaan tersebut, yang jelas: ada kemiripannya dengan perilaku komunikasi sebagian pejabat negara dan politikus kita. Bedanya, pejabat dan politikus bersumpah secara formal.
Dewasa ini enteng sekali para petinggi negeri dan selebritas politik yang menjadi tersangka korupsi mengucapkan kalimat-kalimat bombastis di muka publik. Di era keterbukaan informasi dan kebebasan pers sejak jatuhnya Presiden Soe- harto, kasus tuduh-menuduh terjadi nyaris setiap hari di koran, televisi, atau jejaring sosial dunia maya. Untuk menangkal tuduhan lawan politik atau dakwaan pengadilan, tanpa sungkan mereka berucap, ”Demi Allah, berniat pun tidak. Apalagi melakukan itu.”
Apakah mereka sadar betapa berat mempertanggungjawabkan ucapan sakral itu? Entahlah. Saya tidak tahu. Demi!

Penulis: Kurnia JR Cerpenis
Sumber: Kompas, 4-3-2011