Sabtu, 26 Februari 2011

Bual

Jakarta membual lagi? Pertanyaan pendek itu telontar dari seorang teman asal Tembilahan, Riau. Saya mengira dia ingin ngobrol tentang debat elite politik akhir-akhir ini. Ternyata maksud pertanyaannya adalah apakah Jakarta dilanda banjir lantaran didera hujan dalam beberapa bulan belakangan. Tak lekang kemelayuannya, teman itu memilih kata membual, dari bual, untuk memerikan luapan air yang deras. Arti pertama kata bual dalam Kamus Dewan (2005) memang seputar air: bunyi air yang memancar, dan pancaran air. Kemudian ’omong kosong’ atau ’borak’ sebagai arti berikutnya.
Kebanyakan penutur Indonesia memahami bual, membual lebih pada arti ’omong kosong’. Mengenai pancaran air yang deras atau kuat, semisal banjir, biasa dikatakan luap, meluap saja, atau gelegak, menggelegak yang lebih bertenaga. Bisa juga buncah, membuncah yang terasa puitik. Dalam bahasa Indonesia jarang terucap, ”Banjir besar membual di Jakarta setiap tahun.” Dari segi fonem, bual—dalam arti pancaran air itu—malah lebih dekat dengan mubal dalam bahasa Jawa yang juga menggambarkan air mendidih atau bergolak dari sumbernya.

Jumat, 18 Februari 2011

-teit, -tit, -tet, -tas

Pada bagian awal roman pendeknya, Bawuk, Umar Kayam memperkenalkan Tuan Suryo. Dia adalah ayah Bawuk, tokoh utama roman, yang menjabat sebagai onderdistricthoofd atau camat—zaman kolonial. Layaknya pejabat kala itu, Tuan Suryo mau tak mau harus mengikuti gaya hidup Eropa, seperti main kartu dan biliar di soos, kependekan dari sociëteit, mengacu klub gaul orang Eropa dan elite pribumi di Hindia Belanda masa itu.
Bunyi akhir -teit pada sociëteit sama dengan -ty pada society dalam bahasa Inggris. Meski terdengar mirip, kedua kata itu tidaklah sama arti. Padanan sociëteit dalam bahasa Inggris adalah club house. Namun jelas, baik sociëteit maupun society berkaitan ihwal bersosialisasi. Mengikuti kajian Sartono Kartodirdjo dan kawan-kawan, Perkembangan Peradaban Priyayi, kata soos menjadi bagian penanda kaum homines novi alias manusia baru, yakni para priyayi pejabat pangreh praja dan kaum terpelajar didikan kolonial yang tampil sejak menjelang peralihan abad.
De Harmonie adalah soos pertama yang dibangun di Batavia dan menjadi klub nongkrong elite tertua di Asia. Selain tempat rapat organisasi, soos berfungsi sebagai ruang publik, arena pementasan sandiwara, pesta sekolah, dan sebagainya. Dari sudut politik kolonial, soos bahkan bisa menjadi cara ukur loyalitas pejabat pribumi kepada bos kolonialnya. Sering atau jarangnya seorang pejabat pribumi menghadiri undangan residen dalam acara di bangsal soos menjadi cermin kesetiaan atau kebalahan bawahan terhadap atasan.
Ketika Indonesia merdeka, soos pun surut. Bahasa Belanda diamputasi meski sejumlah kata terserap ke dalam bahasa Indonesia tanpa kesulitan dalam ejaan, semisal proclamatie menjadi proklamasi. Namun, kata berakhir -teit sedikit membingungkan. Bahkan, tak lama setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, muncul perguruan tinggi bernama Nooduniversiteit van Indonesië (Universitas Darurat Indonesia, 1946), kemudian berubah menjadi Universiteit van Indonesië (1947), dan Universiteit Indonesië kemudian Universitas Indonesia (1950). Eksperimen dibuat dengan menganggit universitit pada Universitit Gadjah Mada (1949). Tatkala dibuka pertama kali, universitit itu memiliki empat fakultit eksakta dan tiga fakultit noneksakta.
Melihat kesimpangsiuran tersebut, Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan kala itu, Mr Muhammad Yamin, akhirnya memutuskan: bukan memilih
-teit atau -tit, tetapi kembali ke biang bahasa Eropa, yakni kata berbunyi akhir -tas yang bersumber Latin. Jadilah sebutan universitas dan fakultas sampai sekarang. Mungkin hanya Koentjaraningrat yang taat asas mempertahankan ragam -teit hingga 1980-an, tetapi disulih menjadi -tet, seperti terlihat dalam bunga rampainya, Kebudayaan, Mentalitet, Pembangunan. Dalam berbagai kesempatan, pakar antropologi itu menyunting kata aktivitet, identitet, minoritet, dan sebagainya.
Yang ingin disampaikan dalam kolom ini adalah, kita sejatinya punya kekuasaan dan kebebasan penuh untuk menjinakkan kata asing yang menyusup ke dalam bahasa sendiri. Namun, acap kali pula kita tunduk terhadapnya demi pasar atau tanpa alasan jelas.
KASIJANTO SASTRODINOMO Pengajar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia KOMPAS, 18/02/2011

Jumat, 11 Februari 2011

Politikisasi

Ketika seorang pejabat tinggi Batak mengusulkan pemberian gelar Raja Batak kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum lama berselang, banyak orang sesukubangsanya yang kaget dan marah. Mereka langsung berdemo melancarkan tuduhan politisasi dengan lantang dan garang.
Anggapan mereka, si pengusul sedang mengejar keuntungan politik dengan mengorbankan budaya leluhur dan mengabaikan pendapat mayoritas masyarakat Batak.
Bulan sebelumnya, di tengah euforia langka sepak bola, Golkar meraup tuduhan politisasi ketika pemain-pemain Tim Nasional PSSI yang sedang berjuang meraih posisi nomor satu di Asia Tenggara, tiba-tiba

Jumat, 04 Februari 2011

Pola (aneh di) Sawah

Sejak pemunculan pola aneh di persawahan di Kesultanan Yogyakarta, baik media massa maupun pribadi lepas pribadi seolah-olah berlomba menyebutkan istilah crop circle sesering mungkin. Di berbagai media sosial seperti Facebook dan Twitter, tiba-tiba istilah berbahasa Inggris ini juga naik daun di tengah-tengah pengguna Indonesia. Nah, apa itu crop circle?