Kamis, 27 Januari 2011

Tujuh

Bagi banyak orang, tujuh itu keramat, penting sekali dalam utak-atik angka keberuntungan. Dalam bahasa Indonesia pun kita mengenal ungkapan-ungkapan seperti tujuh keliling, tujuh bulanan, penujuh hari, sampai tujuh turunan, langit ketujuh, dan bintang tujuh.
Tujuh sudah dianggap istimewa sejak awal peradaban manusia yang lahir di Mesopotamia, negeri di antara dua sungai: Efrat dan Tigris. Ketika imam-imam Sumeria, Akad, Babilonia, serta penerus-penerus mereka di negeri para Firaun sampai ke Laut Tengah di negeri Helen (Gerika) dan menengadah ke langit, mereka melihat bintang-bintang yang selalu beredar tapi tidak pernah pindah tempat satu sama lain seperti titik-titik cahaya di kanvas Ilahi yang bergulir dari Timur ke Barat, tidak pernah berubah, abadi.
Kecuali tujuh!

Budaya Tanding

Orang yang paling dicari Pemerintah Amerika Serikat belakangan ini tentulah Julian Assange, pentolan situs WikiLeaks yang membocorkan dokumen rahasia negeri perkasa itu ke ruang publik. Reaksi rezim Abang Sam dan berbagai pihak yang bertemali—pemerintah negara lain dan korporasi raksasa dunia?—gampang ditebak: tangkap si pembocor. Sebaliknya, Joshua Benton dari Nieman Journalism Lab mengecam pemerintah negara yang rahasianya terbongkar itu jangan lagi berpikir ”ini musuh yang harus kita kalahkan. Mereka harus mencari cara lain untuk menghadapi ini”.
Artinya,

Sewa dan Penumpang

Rubrik ini pekan lalu berisi ”Matinya Penumpang”. Dalam tulisan itu Mulyo Sunyoto membuat hipotesis bahwa para pengemudi dan kenek bus pengangkutan umum di Jakarta menggunakan kata sewa, bukan penumpang, karena numpang berkonotasi gratisan, sementara sewa berkonotasi membayar. Hipotesis Mulyo ini salah. Sewa dalam konteks pengangkutan umum di Jakarta bukan berasal dari sewa bahasa Indonesia ’pemakaian sesuatu dengan membayar’, melainkan sewa dialek Medan dari bahasa Batak Toba yang memang berarti ’penumpang’.

Matinya Penumpang

Sebuah bus pengangkutan umum berjalan perlahan keluar dari Terminal Kampung Rambutan Jakarta. Di belakang kendaraan itu, dalam jarak sepelempar, seseorang bergegas mengejar bus. Sopir tak menghentikan kendaraannya. Kenek melihat gelagat orang itu lewat kaca spion. Kepada sopir, sang kenek berteriak, ”Ada sewa, ada sewa.”
Sewa, bukan penumpang. Sopir dan kenek kendaraan pengangkutan umum di Jakarta seolah tabu menggunakan kata penumpang menyebut 'orang yang naik kendaraan umum'. Sejak kapan dan mengapa para awak kendaraan umum di Jakarta memilih sewa dan menampik penumpang? Saya tak tahu. Yang pasti,

Bahasa dan Iklan yang Menyesatkan

Iklan tentulah bagus untuk menekan harga serta memulai dan memperbesar usaha. Masalah muncul ketika bahasa iklan tidak lagi sekadar memperkenalkan atau memuji-muji barang dan jasa pengiklan. Ada beragam taktik yang banyak dipakai sekarang untuk menyesatkan pelanggan sehingga membeli barang atau jasa yang tidak sesuai dengan harapannya.
Obral dengan ungkapan up to atau sampai adalah salah satu yang paling umum dijumpai. Diskon up to 70% biasanya berarti bahwa dari 10.000 barang yang ditawarkan, ada 10 yang harganya dipotong 70 persen, 9.990 lagi dipotong kurang dari itu atau tidak sama sekali. Dalam banyak kasus,

Juru Kunci


Pada 26 Oktober 2010 Gunung Merapi di perbatasan Jawa Tengah-DI Yogyakarta kembali meletus. Mbah Maridjan Sang Juru Kunci ikut jadi korban letusan. Frasa juru kunci kembali marak di media massa. Frasa ini mulai memasyarakat pada erupsi Merapi 2006. Ketika itu Mbah Maridjan menolak ikut mengungsi dan tetap bertahan di kampungnya. Kampung Kaliadem di sebelah timur Kinahrejo hancur diterjang awan panas. Sementara itu, Kinahrejo kampung Mbah Maridjan selamat. Mbah Maridjan lalu menjadi idola dan bintang iklan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, juru kunci adalah penjaga dan pengurus tempat keramat, makam, dan sebagainya. Dalam entri KBBI, kuncen diartikan ’juru kunci’. Juru kunci dalam KBBI diadopsi dari Baoesastra Djawa WJS Poerwadarminta, djoeroe koentji ’wong sing pinatah ngrekso pakoeboeran oetawa papan sing kramat’.
Dalam Baoesastra Djawa, entri koentjèn malahan tidak ada. Yang ada pakoentjèn, yang diartikan sebagai rumah juru kunci. Belakangan kata pakuncèn dalam kosakata bahasa Jawa berkembang hingga hilang awalannya menjadi kuncèn. Maknanya juga berubah dari tempat tinggal menjadi jabatan, profesi. Istilah kuncèn umum digunakan dalam bahasa lisan, sedangkan juru kunci digunakan dalam bahasa tulis.
Awalnya istilah juru kunci hanya digunakan menyebut penjaga makam tokoh keramat. Makam mereka biasanya berada dalam bangunan berpintu dan pintu tersebut ditutup serta dikunci. Ketika ada yang datang, juru kunci akan melepas kunci, membuka pintu, dan menyilakan pengunjung masuk. Pengertian juru kunci kemudian berkembang. Frasa juru kunci juga diperuntukkan bagi para penjaga makam dan tempat keramat yang tak berada dalam bangunan. Bahkan, akhirnya gunung sebesar Merapi dan berada di ruang terbuka pun perlu dijaga juru kunci.
Gunung di Jawa memang selalu dikeramatkan masyarakat sekitar. Bahkan, masyarakat Jawa berkecenderungan aneh.
Merapi adalah gunung berapi yang dikeramatkan oleh dua keraton di Jawa: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Kasunanan Surakarta ”menguasai” sisi utara Gunung Merapi di Kecamatan Sela, Kabupaten Boyolali. Kasultanan Yogyakarta ”menguasai” sisi selatan Gunung Merapi di Kecamatan Turi, Pakem, dan Cangkringan, Kabupaten Sleman.
Di Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangringan, secara rutin Kasultanan Yogyakarta melakukan upacara adat yang dilaksanakan juru kunci. Ritus seperti ini sebenarnya peninggalan zaman neolitikum. Gunung berapi adalah tempat yang dilematis bagi manusia purba. Di satu sisi, lahan di sekitar gunung berapi sangat subur, sementara di sisi lain setiap saat mara bahaya akibat erupsi terus mengancam. Agar erupsi tak merusak dan menewaskan warga, gunung dibujuk dengan aneka ritus, termasuk pemberian sesaji dan kurban. Maka, seorang juru kunci pun diperlukan.
F Rahardi Penyair

Besi Berani


Dengan alasan praktis, hemat, dan getol berasing ria, kita berhasil menindas kata besi berani, kereta angin, atau mawar menjadi magnet, sepeda, atau ros. Ilmu hayat pun menjadi biologi dan ilmu bumi menjadi geografi. Anak-anak sekarang barangkali tak lagi pernah mendengar tentang seni suara atau tata buku, padahal sebutan mata pelajaran itu pernah ada. Anak-anak kini belajar musikologi dan akunting, istilah untuk pelajaran yang sama tetapi dianggap lebih keren.
Keputusan sudah diambil dengan kesiapan menghadapi semua akibatnya. Menjadi bahasa modern yang tidak kampungan lebih penting daripada ketinggalan selamanya. Kata suhu yang lebih ringkas jarang digubris karena kita pikir lebih baik menggunakan kata temperatur yang lebih dikenal secara internasional dan dalam rumus ilmiah disingkat dengan huruf T. Rasanya tak ada faedahnya pula menerjemahkan frequency menjadi kekerapan sebab tak pernah dipakai.
Syukurlah istilah darah tinggi (hipertensi), kencing manis (diabetes), atau datang bulan (menstruasi, haid) masih cukup sering dipakai meski telah terdesak. Untung pula tak ada istilah bahasa Inggris yang pas memadani kata kopi-susu. Milk-coffee bukan istilah yang lazim. Beberapa kata Indonesia sangat berkarakter dan unik sehingga sayang apabila dieliminasi. Contoh: burung hantu, wayang orang, atau pencuci mulut (dessert).
Mengganti mesin uap dengan sebutan boiler kiranya boleh-boleh saja asal kita juga mau belajar bahwa istilah itu berasal dari kata to boil yang berarti ’mendidihkan’.
Bahasa Indonesia sesungguhnya tidak neko-neko. Banyak pengertian dibangun dengan cuma merangkai-rangkaikan kata. Hasilnya mungkin sebentuk kata yang lebih panjang atau terdiri atas beberapa patah kata namun artinya jadi amat jelas. Dengan kata mesin dan juru, umpamanya, kita dapat membentuk banyak pemahaman baru, seperti mesin cetak untuk printer, mesin cacah untuk chopper, mesin iris untuk slicer, juru jual untuk salesman, juru tagih untuk collector, dan juru tembak untuk sniper.
Kata-kata berbentuk pendek sebetulnya tak terlalu penting untuk diprioritaskan. Rumah susun lebih afdol daripada apartemen yang dipadaninya, namun sekarang orang kembali menggandrungi kata apartemen sejak pemerintah ikut membangun apartemen murah yang disebut rumah susun, rumah susun sewa, dan rumah susun hak milik (rusunami). Pengembang besar merasa terbanting jika menamai proyeknya rumah susun.
Sebenarnya, bila hendak menjadi bahasa internasional, satu hal hakiki yang perlu kita pikirkan pada bahasa Indonesia adalah penulisan tanda baca titik (”.”) dan koma (”,”) untuk perhitungan yang selama ini berfungsi terbalik dengan pemahaman dalam bahasa lain, misalnya bahasa Inggris. Pada kita titik penanda ribuan, pada bahasa Inggris koma. Sebaliknya, kita memakai tanda koma menandai pecahan, sedangkan bahasa Inggris memakai tanda titik. Mereka yang tak menyadari masalah ini bisa terkecoh dalam berhitung.
Dalam soal ini mungkin kita terpaksa mengalah mengikuti aturan dalam bahasa Inggris sebab hampir semua mesin hitung, termasuk kalkulator buatan Shanghai dan program komputer Excel, bekerja berdasarkan pemahaman titik dan koma sesuai dengan aturan dalam bahasa Inggris. Angka 10.000,00 tak dapat dibaca sebagai sebuah jumlah, kecuali ditulis 10,000.00. Tentu saja ini masalah serius yang entah kenapa tak pernah dibahas sampai tuntas.
Lie Charlie Sarjana Tata Bahasa Indonesia, Tinggal di Bandung

Perubahan dan Pengubahan


Dalam bahasa kita sehari-hari, kita memakai verba berubah dan mengubah dengan berselang-seling. Bentuk berubah berhubungan dengan subjek saja, seperti dalam cuaca dan iklim berubah, air mukanya berubah. Maknanya di sini cuaca, iklim, dan air muka menjadi lain dan berbeda dari keadaan semula. Penyebabnya dari dalam, atau tidak diketahui, atau tidak dikenal karena tidak dianggap penting.
Ada sejumlah konstruksi verba berubah yang ditambah keterangan yang merupakan idiom: berubah akal dengan makna ’gila’ dan berubah mulut ’ingkar janji’. Ungkapan itu disebut idiom karena maknanya tidak dapat dijabarkan dari makna harfiahnya.
Bentuk verba mengubah bertalian dengan subjek dan objek. Ada yang mengubah dan ada yang diubah, penyebabnya dapat dikenal, diketahui, atau dirunut. Beberapa contoh: mengubah teks Undang-Undang Dasar, mengubah warna dinding kamar itu. Bentuk berubah dan mengubah masing-masing mempunyai paradigma yang berbeda. Paradigma di sini diartikan pola dengan sejumlah kata yang mempunyai bentuk dasar yang sama. Untuk bahasa Melayu di Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam serta bahasa Indonesia di Indonesia dan Timor Leste, paradigma verba berubah terdiri atas peubah ’yang berubah’ dan perubahan ’keadaan atau kejadian berubah’, sedangkan paradigma verba mengubah berunsur pengubah ’yang mengubah’, pengubahan ’perbuatan atau proses mengubah’, dan ubahan ’hasil mengubah atau yang diubah’.
Kedua paradigma itu memiliki daya terap yang luas dan mampu membedakan dengan cermat makna kata dengan afiks per-an dari kata dengan afiks peng-an. Contohnya Jakarta berubah dengan pesat bertalian makna dengan Perubahan Jakarta yang pesat, MPR mengubah Undang-Undang Dasar kita bertalian makna dengan Pengubahan Undang-Undang Dasar kita oleh MPR. Jadi, bukan perubahan Undang-Undang Dasar. Undang-undang dasar diubah dan tidak berubah dengan sendirinya. Hasil mengubah konstitusi itu ialah ubahan. Ubahan konstitusi itu disebut juga amandemen, amendment (Inggris) yang menjadi sumber penyerapan padanan Indonesianya.
Amend sebenarnya bermakna ’mengubah untuk mengoreksi, atau memperbaiki sesuatu’. Untuk makna yang terakhir ini dalam bahasa kita sebenarnya tersedia verba pinda dengan paradigma meminda, peminda, pemindaan, dan pindaan. Jadi, kita dapat berbicara tentang pindaan pertama, pindaan kedua, dan seterusnya.
Dengan menerapkan paradigma di atas, daya ungkap bahasa Indonesia masa kini dapat kita cermatkan. Melindungi kaum duafa bertalian dengan pelindungan kaum duafa, sedangkan Kami berlindung di tempat aman bertalian dengan Tempat aman itu perlindungan kami.
Kita harus bersyukur bahwa peranti bahasa kita memungkinkan kita berbicara tentang perairan ’tempat berair’ dan pengairan ’tindakan mengairi’; permukiman ’tempat bermukim’; dan pemukiman ’proses memukimkan’. Kita memakai bentuk pernikahan dan perkawinan karena di masa lampau orang dikatakan bernikah dan berkawin. Akhirnya perlu diluruskan paradigma berdosa dan bertobat yang bertalian dengan pedosa (bukan pendosa) dan perdosaan serta petobat (bukan pentobat) dan pertobatan.
Anton M Moeliono Pereksa Bahasa; Guru Besar Emeritus Linguistik Universitas Indonesia

"Z"


Pusat Bahasa mengukuhkan ejaan kata serapan dari bahasa asing yang berawal atau berunsur huruf z tetap ditulis atau diucapkan seperti adanya. Jadi, zenith, zirconium, dan zodiac disurat zenit, zirkonium, dan zodiak dalam ejaan Indonesia. Ada 184 kata berawal z yang dientri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, jauh lebih gendut ketimbang edisi sebelumnya yang hanya 82 kata. Suatu pengembangan materi kosakata yang layak diacungi jempol.
Dalam praktik berbahasa biasa muncul varian: z tak selalu tertulis atau terucap seturut patokan Pusat Bahasa. Pada sebagian penutur bahasa Jawa, misalnya, huruf itu menjelma berbagai wujud seperti j yang terdekat, atau d dan s. Faktor objektifnya cukup jelas: aksara Jawa tak mengenal z. Barulah ketika budaya luar berdatangan, terutama dari Arab dan Belanda, huruf itu ikut masuk. Maka, zaman jadi jaman seperti jaman edan yang tertulis dalam risalah ramalan Ranggawarsita. Zonder yang Belanda berubah sonder. Kelompok musik cadas memilih nama jamrud alih-alih zamrud. Seorang teman meminjam horijon. Yang dia maksud adalah majalah Horison, atau horizon menurut KBBI.
Ejaan Arab dz juga jadi medok dalam ucapan Jawa. Kata dzikir atau zikir dalam KBBI, misalnya, jadi dikir atau jikir. Demikian pula adzan bersulih adan atau ajan. Sebutan salat wajib tengah hari, zuhur atau dhuhur (Arab), pun sering terucapkan juhur dan makin menjauh jadi lohor ketika dijawakan. Kemudian nama bulan Arab Dzulqa’dah atau Zulkaidah pada KBBI dibunyikan Dulkangidah dalam penanggalan Jawa. Beberapa contoh acak perubahan aksara dan bunyi tersebut menunjukkan semacam domestikasi z dalam pengucapan Jawa, bahkan mungkin juga dalam bahasa daerah yang lain di Indonesia.
Namun, lafaz z tak boleh ditawar dalam pembacaan teks Alquran demi ketepatan makna. Itu sebabnya para pelantun ayat-ayat suci Alquran yang tekun—kaum santri contohnya—sangat fasih mengucapkan z. Penggunaan kata rizki sebagai nama diri menyiratkan penganggitnya lebih Islami dan sadar bagaimana harus mengeja nama itu. Sementara, (sri) rejeki mungkin jadi preferensi kaum ”priayi abangan” mengikuti kategorisasi Clifford Geertz. Mungkinkah pilihan atas z juga bertemali dengan kecenderungan linguistik di antara golongan sosial di Jawa model itu? Geertz luput mengamatinya.
Hampir semua kata berawal z pada KBBI merupakan serapan dari kata asing, terutama Arab, Belanda, Inggris, dan beberapa istilah teknis ilmiah dalam ilmu pengetahuan alam. Cukup sulit kita temukan kata berhuruf Latin terakhir itu yang ”asli” dalam khazanah bahasa Indonesia. Mungkin hanya komikus dan karikaturis yang berhasil memanfaatkan z secara tepat untuk mendeskripsikan orang tidur nyenyak: Zzzzz. Makin banyak z yang dijejerkan, makin lelap tidur orang yang digambarkan itu.
Tiba-tiba saya teringat akan Asmuni (almarhum), pelucu senior kelompok sandiwara Srimulat. Dalam aksi panggungnya sebagai pembantu rumah tangga, dia biasa bertanya kepada tamu yang datang, ”Mau minum susu atau zuzu?” Apa bedanya? Yang pertama cuèr, sedangkan yang kedua kenthel.
KASIJANTO SASTRODINOMO Pengajar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI

Bahasa Alay


Suatu kali saya menanggapi fesbuk, istilah gaul bagi facebook, seorang teman yang juga senior saya di kampus ketika masih kuliah. Teman itu kemudian membalas dengan menuliskan kode D. Serta-merta ”D” saya artikan sebagai diam. Saya merasa sakit hati. Ketika itu saya terbilang orang baru di lingkungan media jejaring sosial, jadi belum paham benar maksud kode-kode yang digunakan.
Sejak itu, tiap kali membuka fesbuk, saya agak cemas bila ”bertemu” dengan teman itu. Lama-lama saya sadar, ternyata banyak yang menggunakan kode D di ruang komentar. Saya tanya adik saya apa arti ”D”. Ternyata artinya: tertawa lebar.
Kehadiran ponsel dan media jejaring sosial—fesbuk dan twitter—harus diakui telah ikut mendorong munculnya ragam bahasa tersendiri. Istilah populernya bahasa alay, akronim dari anak lebay, yakni bahasa tulis berupa campuran bahasa gaul lisan, bahasa asing khususnya Inggris, singkatan, kode, angka, dan visualisasi. Bahasa ini berkembang di kalangan remaja, namun dalam pergaulan media jejaring sosial juga digunakan orang dewasa bahkan lansia. Semakin lama bahasa ini kian berkembang sehingga seorang dewasa yang telat memiliki akun, seperti saya, perlu waktu adaptasi sebentar. Bahasa alay pada dasarnya memanfaatkan bahasa prokem anak muda Ibu Kota, ragam bahasa yang berkembang di akhir 1980-an, dan kemudian jadi ragam bahasa media jejaring sosial yang khas. Dalam pergaulan media jejaring sosial, menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar malah membuat orang tampak aneh, kaku, dan lucu.
Di sini saya tak hendak menganalisis faktor penyebab pemunculan bahasa alay, apalagi mengangkat contoh kasus demi kasus yang bertaburan di media jejaring sosial. Tentu saya ikut prihatin karena bahasa alay banyak digunakan kalangan remaja, kelompok usia yang masih harus belajar disiplin berbahasa. Menurut data Kemenkominfo, pengakses internet terbanyak adalah remaja, mencapai 64 persen. Indonesia berada di peringkat tiga dunia sebagai pengguna media jejaring sosial (26 juta), setelah Amerika Serikat (130 juta) dan Inggris (28 juta). Bayangkan, 26 juta dari 234,2 juta penduduk Indonesia (Data BPS 2010) menggunakan bahasa alay, kendati frekuensi penggunaannya terbanyak di kalangan remaja. Bisa disimpulkan, selama media jejaring sosial dan SMS ponsel digunakan, bahasa alay akan terus berkembang.
Prinsip bahasa alay sederhana: yang penting teman-teman menangkap pesan yang disampaikan. Meski bahasa prokem juga tak seragam karena tergantung kepada daerah, misalnya bahasa prokem Tegal, masih ada aturan tak tertulis dalam penggunaannya. Penggunaan partikel untuk menekankan emosi tertentu (deh, nih, dong, sih) dan sisipan (-ok- pada bapak menjadi bokap, pada nyak jadi nyokap) masih bisa ditelusuri.
Dalam bahasa alay, orang bebas menyingkat bahasa resmi, Indonesia maupun Inggris, menambah unsur visual, angka, tanda, dan kode. Biasanya dalam menyingkat kata, unsur vokal dihilangkan, dan tatkala semua kata disingkat, teman harus paham. Tahu sama tahu.
Beberapa contoh bahasa alay: ”Aq ke rmhx hr ni” (aku pergi ke rumahnya sore hari ini), ”mkcih, ya” (terima kasih, ya), ”otw ke rmh” (on the way ke rumah), ”gapapa” (tidak apa-apa), ”))” (kode untuk senyum, sering ditulis pada akhir komentar, misalnya ”I luph u:))”), ”P” atau ”Piiis” (peace artinya ”damai, jangan marah, dong”). Masih banyak lagi.
Kesimpulan apakah yang bisa dipetik dari bahasa alay? Pemeo ”bahasa menunjukkan bangsa” tampaknya tak lagi berlaku, digeser pemeo ”bahasa menunjukkan media”.
Rainy MP Hutabarat Cerpenis

Sumbang

Kelompok band indie seperti Bottlesmoker dari Bandung yang meraih Kusala Musik Independen Asia Pasifik 2010 di Manila, Filipina, boleh dibilang sebagai kawanan musik bernada sumbang. Bahkan, band beraliran serupa asal Bali menamakan diri Parau, yang juga berarti sumbang. Sebelumnya dalam musik populer ada penyanyi berjuluk Doel Sumbang dan Iwan Fals—plesetan dari false dalam bahasa Inggris.
Tesaurus bahasa Indonesia, karya Eko Endarmoko (2006) maupun garapan Pusat Bahasa (2009), mengentri kata sumbang dalam dua kumpulan arti. Yang pertama terkait bunyi, nada atau suara tak selaras: ’cemplang, janggal, miring, someng, garau, parau, pecah, sember, serak’. Jika didengarkan, suara itu terasa tak nyaman di kuping. Pada entri ini sumbang juga dipadankan dengan ’keliru, salah, sesat, haram’. Namun, kesumbangan para pemusik atau penyanyi tersebut tidak terletak pada disonansi suara mereka, melainkan pada sifatnya yang melawan terhadap kemapanan permusikan di Tanah Air yang cenderung seragam menuju pasar.
Alhasil, arti kata sumbang bersifat negatif sehingga kesumbangan dianggap sebagai cacat sosial dalam masyarakat kita pada umumnya. Di daerah Aceh Tengah, misalnya, ada empat sumang—bahasa Gayo untuk sumbang—yang secara adat harus dihindari warga setempat: sumang penengonen (melihat sesuatu tidak pada tempatnya), sumang percerakan (pembicaraan yang tak wajar menurut norma), sumang pelangkahen (berjalan tanpa muhrim), dan sumang kenunulen (duduk di suatu tempat yang menimbulkan kecurigaan). Ihwal ini saya dengar dari Riana Repina, guru Madrasah Aliyah Negeri Rukoh, Banda Aceh, dalam final Lomba Penulisan Sejarah Wilayah, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2010.
Dulu perbedaan pendapat, kritik, atau ketidaksetujuan sering dipandang sebagai nada sumbang, pelantunnya dicap pembangkang dan, karena itu, harus dibungkam atas nama harmoni. Kini, karena kita sekarang memilih demokrasi, maka ”semiring” apa pun nada suara (publik) tetap patut didengar. Siapa tahu, meski terasa sember, suara itu bisa memberi sumbangan yang justru menjaga keseimbangan. Dengan kata lain, kesumbangan perlu dilihat bukan sebagai ’kejanggalan, kemiringan’, apalagi ’sesat’ atau ’haram’, tetapi varian (pendapat misalnya) yang merupakan bagian dari keragaman.
Pada titik ini sangat relevan menyimak gugus padanan kata sumbang yang kedua: bantu, tolong, sokong sebagai verba; atau bantuan, pertolongan, sokongan sebagai nomina. Tak perlu berpanjang kalam, sumbang dalam makna filantropik ini tumbuh subur dalam masyarakat kita. Tradisi gotong royong di berbagai sudut Nusantara pada dasarnya berintikan unsur sumbang(an): tidak harus berupa uang atau materi, tetapi juga tenaga, saran, dan empati.
Setelah 65 tahun merdeka, tetapi rasa keindonesiaan ditengarai malah terkoyak, rasanya kita perlu memaknai kembali nilai sumbang dalam berbagai kearifan kolektif kita. Seperti prinsip dalihan na tolu (Batak), sambatan (Jawa), ngopin (Bali), mapalus (Minahasa), pela gandong (Ambon), dan lain-lain perlu direvitalisasi sejalan dengan kebutuhan zaman demi kehidupan bersama yang lebih guyub.
KASIJANTO SASTRODINOMO Pengajar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Diam-diam


Pembaca, izinkan saya menyampaikan kebingungan ini. Tiba-tiba terbetik warta dari pucuk tertinggi pemerintah negara ini, ada revolusi diam-diam atau the quiet revolution di negeri kita. Suatu pengakuan akibat selip lidahkah ini atau sekadar kekhilafan memilih kata?
Dicetuskan konon oleh seorang jurnalis dari Toronto, istilah Quiet Revolution merujuk pada masa perubahan mendasar tata sosial di Quebec, Kanada, sejak 1960 hingga 1966. Dalam peristiwa itu, pemerintah lama di bawah Perdana Menteri Maurice Duplessis digantikan oleh Jean Lessac yang lebih modernis. Sejak itu Quebec keluar dari zaman kegelapannya dan masuk ke dalam arus modernisasi. Quebec menjadi sekuler, liberal, tetapi tetap nasionalis. Nilai-nilai kuno yang konservatif dan menghambat ditinggalkan, pendidikan menjadi utama. Kendati radikal, semua perubahan itu berlangsung tenang, tanpa terasa, sehingga disebut quiet revolution; tetapi bukan diam-diam.
Kamus menakrifkan diam-diam sebagai ’tak diketahui orang lain’ dan ’secara rahasia’. Lebih gamblang, tesaurus menambahkan makna lain: ’slintat-slintut’. Maka, khilaflah bila kita mengatakan, antara lain, ”Presiden diam-diam membagikan buku dan cendera mata lain dalam upacara kenegaraan yang baru lalu.” Keliru pula bila kita menyatakan, ”Pusat Bahasa diam-diam menerbitkan tesaurus baru.” Pasalnya, dalam kedua peristiwa tersebut tak ada yang dilakukan secara rahasia, slintat-slintut, agar tak seorang pun tahu. Semuanya jelas, seterang siang hari.
Berbeda soalnya bila ada sesuatu yang dirahasiakan. Misalnya dalam ujaran, ”Ketua RT diam-diam berusaha mempercantik citranya di mata warganya dengan membagikan cendera mata.” Di sini diam-diam digunakan untuk mengungkapkan bahwa ada maksud lain yang tersembunyi dan tak mudah dibuktikan di balik pemberian cendera mata. Begitu pula dengan ungkapan, ”Lembaga XYZ diam-diam menjiplak hingga titik koma suatu tesaurus dan menerbitkannya dengan judul yang baru.” Kata diam-diam bisa digunakan bila terbukti telah terjadi slintat-slintut dalam penerbitan buku tersebut, yang oleh pelaku dirahasiakan kebenarannya.
Jadi, mengikuti pengertian di atas, revolusi diam-diam bisa dimaknai sebagai revolusi yang dilakukan secara rahasia. Namun, dalam konteks warta di atas, siapakah di antara kita yang tak tahu bahwa telah diadakan Pilkada, Pemilu, maupun Pemilihan Presiden? Adakah di situ yang diam-diam?
Maka pembaca, dalam kebingungan saya, izinkanlah saya menganggap warta itu kekhilafan belaka, bukan pengakuan, kendati yang belakangan ini juga mungkin benar. Namun, jika itu benar, apakah yang kiranya disembunyikan? Revolusi slintat-slintut apakah yang sedang berlangsung?
Pembaca, untuk kali ketiga meminta izin, kali ini perkenankanlah saya untuk tidak berandai-andai dan terus meyakini bahwa warta revolusi diam-diam yang kita dengar itu hanyalah hasil kekhilafan memilih kata. Barangkali yang ingin disampaikan sesungguhnya adalah revolusi damai. Bukan yang lain.
Christina M Udiani Redaktur Penerbit KPG

Pengoplosan


Heboh kasus tabung gas 3 kilogram meledak yang saling susul di pelbagai penjuru tanah air membuat pejabat lembaga terkait ’sibuk’ menyelisik biang kerok insiden yang bikin kuping dan wajah pemerintah merah padam. Ada yang bilang selang dan perangkatnya tak memenuhi standar keamanan. Ada yang mengungkap bahwa masyarakat penggunanya banyak tak paham cara pengoperasian tabung gas yang benar dan aman.
Terakhir berkembang wacana bahwa kebocoran gas ini sebagai akibat pengoplosan gas dalam tabung 3 kg ke dalam tabung 12 kg karena adanya disparitas harga gas antara kedua jenis kemasan itu. Dalam proses penyuntikan gas ini ditengarai telah terjadi kerusakan katup yang berakibat gas bocor tak disadari penggunanya.
Yang menarik dicermati dari sudut pandang bahasa adalah penggunaan istilah pengoplosan ini. Barangkali tak banyak di antara kita yang tahu: oplos diserap dari bahasa Belanda, oplossen, yang bermakna ’melarutkan’. Dalam bahasa Inggris dia berpadanan dengan to solve. Karena kata ini bermakna melarutkan, maka syaratnya tentu harus ada dua jenis zat yang diperlukan untuk pekerjaan ini. Bisa antara zat cair dan zat padat atau antara dua zat cair yang berbeda kekentalannya. Kita bisa mengatakan secara benar akan mengoplos sirup ke dalam air segelas atau mengoplos bubuk kopi ke dalam air panas. Hasil yang didapat adalah oplosan, yang dalam bahasa Belanda disebut oplossing dan dalam bahasa Inggris solution.
Dalam bahasa kita, kata oplosan bergeser menuju konotasi negatif. Ini tak lepas dari peran media massa yang selalu menggunakan kata pengoplosan untuk merujuk kepada tindakan ilegal mencampurkan bahan (cairan) komoditas murni dengan zat lain yang jauh lebih rendah mutunya. Katakanlah seperti berita pengoplosan bensin dengan solar, pengoplosan solar dengan minyak tanah, pengoplosan minyak sawit dengan air, dan sebagainya. Sekalipun sebenarnya kurang tepat digunakan (karena tak jelas di sini mana zat pelarut dan mana zat terlarut), istilah itu masih bisa diterima akal sehat sebagai pencampuran dua zat cair yang berbeda nilai ekonomisnya.
Tiba-tiba tahun ini kita mendengar istilah pengoplosan gas. Sesuatu yang pasti sangat menggelikan bagi mereka yang mengerti makna oplos. Alasan pertama kita tidak pernah—dan tidak mungkin—melarutkan zat ke dalam gas dan hanya mungkin melarutkannya ke dalam zat cair. Alasan kedua yang terjadi dalam tindakan nakal ini adalah sekadar memindahkan gas dengan kualitas yang persis sama dari satu wadah ke wadah lain. Tidak ada pencampuran gas elpiji dengan gas amoniak misalnya. Seandainya tak ada unsur kriminalitas di sini, sebenarnya dapat sekadar kita katakan dengan pemindahan gas. Mengingat tindakan ini punya konotasi menyimpang, barangkali sebagai ganti kata pengoplosan gas dapat kita gunakan istilah pencatutan gas. Mungkin tak semua dari kita bisa menerima saran istilah ini karena kita sudah telanjur nyaman dengan kata oplos yang salah kaprah ini.
Oplosan berpadanan dengan oplossing atau solution. Yang unik di sini, selain bermakna ’larutan’, kedua kata dari bahasa asing ini juga punya arti ’pemecahan masalah’ atau dalam istilah sekarang kita katakan solusi. Jadi dengan gaya gurauan sebenarnya kita bisa mengatakan ”pejabat Pertamina sedang sibuk mencari oplosan yang sesuai untuk gas tabung 3 kilogram sehingga tidak meledak lagi”. Namun, sebelum sempat menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan oplosan adalah solusi, jangan-jangan si pengucap kalimat ini sudah dilempar sepatu oleh warga yang sudah sebal sekali dengan kata oplos ini.
Gustaaf Kusno Pemerhati Bahasa, Tinggal di Palembang

”Jangan Nyampah di Kali”


Jangan nyampah di kali!” begitu kata Gubernur Fauzi Bowo. Kelihatannya seperti tindakan berbahasa biasa saja. Padahal, ini penting. Mengapa? Pak Gub menggunakan bahasa yang akrab dengan masyarakat Jakarta, khususnya yang tinggal di tepi sungai. Perhatikan! Ia tidak mengatakan, ”Jangan membuang sampah di sungai.”
Dalam kebijakan publik memang ada yang disebut dengan aspek afektif. Bahasa penduduk Jakarta nyampah dan kali akan langsung masuk ke dalam hati masyarakat kecil di Jakarta. Lebih dari itu, nyampah tak sepenuhnya sepadan dengan frase membuang sampah. Kata nyampah selain bernilai afektif, juga tak sekadar bermakna ’membuang sampah’. Nyampah bermakna ’mengotori dengan sampah’. Jadi, Pak Gub–tanpa ia tahu–telah menembak dengan dua peluru sekaligus: menggunakan bahasa dari kalangan ”bawah” untuk memperoleh dampak afektif dan memberikan makna yang lebih dari sekadar ’membuang’, tetapi ’mengotori’.
Di beberapa tempat di Jakarta saya melihat kain rentang dengan tulisan ”Stop Nyampah di Kali”. Sayang sekali kalimat Gubernur Fauzi tak sepenuhnya dipahami dari segi makna kewacanaannya. Seharusnya ada upaya terus-menerus mengembangkan kalimat Bang Fauzi. Dari kalimat ini akan dapat dilahirkan ”Jangan nyampah di got”, ”Jangan nyampah di mana-mana”, ”Jangan nyampah sembarangan”. Kata nyampah dengan demikian menjadi ”kata generator” yang dapat secara terus-menerus digunakan dalam komunikasi publik dalam upaya membudayakan penduduk Jakarta untuk tidak mengotori kotanya dengan sampah, tidak mengotori sungai dengan sampah, dan tidak menyumbati got-got dengan sampah.
Upaya membudayakan jangan nyampah harus dilakukan tanpa henti dan pada waktu tertentu diangkat lagi. Tujuan akhirnya adalah agar nyampah menjadi kata yang dibenci. Tentunya tidak hanya sampai di situ. Pemda harus secara sistematis memberikan kemudahan kepada penduduknya membuang sampah ke tempat sampah yang sudah disediakan (dan tidak mudah dicuri).
Pembedaan atas sampah organik dan nirorganik hemat saya belum diperlukan pada tahap ini. Buktinya selama ini tidak berhasil karena, selain tidak dipahami, belum dirasakan manfaatnya. Menurut saya, yang penting membedakan antara ”sampah” dan ”botol”. Ini akan membantu para pemulung mengais rezeki. Selain itu diperlukan pendidikan membakar dan mengolah sampah di kelurahan yang sosialisasinya melalui RT dan RW. Akan tetapi, perlu diingat: semua ini tak dapat lagi dilakukan secara amatiran dan panas-panas tahi ayam seperti sudah terjadi selama ini. Jangan nyampah seharusnya menjadi program Pemda yang dilakukan secara terencana dan berkelanjutan. Mengapa? Karena penanggulangan masalah sampah akan mengurangi genangan air di Ibu Kota RI di musim hujan.
Masyarakat kita masih belum lepas dari pola komunikasi vertikal. Ini warisan dari zaman kuno. Sejarawan Prancis Braudel mengemukakan bahwa sejarah (baca: perubahan) yang bergerak paling lambat adalah sejarah mentalité yang dapat mencakupi masa berada-abad. Komunikasi vertikal masih efektif karena masih hidup dalam lubuk budaya kita. Karena itu, kalau ingin serius membuat ”Jakarta bersih”, seperti telah dilakukan Pemda dengan membuat ”Jakarta hijau”, Pak Gub jangan bosen-bosen mengucapkan ”Jangan nyampah” yang didukung oleh program ”jangan nyampah”. Insya Allah, setelah setahun, nyampah menjadi kata yang dibenci orang Jakarta. Dan kota ini, selain menjadi kota yang hijau dan bersih, juga bebas dari genangan air.
BENNY H HOED Guru Besar Emeritus FIB-UI

Satwa dan Politik


Hubungan antara satwa dan politik sudah terjalin sejak zaman baheula yang mewujud dalam bahasa lambang (heraldiek) seperti patung, bangunan monumental, bendera negara, dan lain-lain. Pada bagian bangunan istana raja atau puri bangsawan di Eropa, misalnya, biasa ditemukan patung singa atau garuda sebagai ornamen gedung. Singa pula sejak abad ke-5 sebelum Masehi dipajang etnik Sinhale di Sri Lanka sebagai hiasan bendera. Sementara, Bhutan—sesuai dengan arti namanya, ”negeri naga”—memilih naga sebagai markah bendera nasional.
Satwa besar itu melambangkan kekuatan dan kekuasaan atau prestise sosial tertentu. Mungkin lambang itu tercipta ketika kebudayaan manusia, mengutip van Peursen, masih diliputi alam pikiran mitis, saat subjek tak berjarak dari objek sekitarnya. Namun, mengikuti Roland Barthes (dalam Mythologies, 1972), alam pikiran semacam itu sejatinya melintasi ruang dan waktu meski dalam konteks yang berbeda. Tak heran jika kaum konservatif di Amerika Serikat kepincut gajah untuk atribut Partai Republik; logo beruang terpampang pada bendera Negara Bagian California setelah lepas dari Meksiko sejak abad ke-19.
Di Indonesia partai nasionalis yang dibentuk pada masa jajahan berlambangkan sosok banteng yang gagah, sekaligus menorehkan ideografi perlawanan terhadap kolonialisme. Selain satwa mamalia perkasa itu, para pendiri negeri kita memilih burung garuda sebagai lambang negara. Profil unggas itu banyak terpahat pada relief candi kuno di Indonesia sehingga diyakini sebagai satwa perwira nan sakti, dan kita percaya Sang Garuda mampu menjaga semboyan pelangi kebinekaan dalam keutuhan negeri ini.
Belakangan kosakata relasional satwa-politik terasa makin ekstensif sekaligus degradatif karena tak terbatas pada sebutan binatang besar atau mitologis, tetapi juga meraup jasad renik dan hewan kotor lain. Jika heraldik klasik merepresentasikan gagasan keagungan, bahkan kekeramatan bak pusaka, wicara satwa-politik kontemporer mencerminkan pragmatisme sesaat. Maka, tak perlu gusar jika terdengar ungkapan gurem untuk partai politik bawah banderol: kutu loncat bagi politikus yang gampangan pindah partai dan bunglon yang menyindir kader partai oportunistik.
Ekspresi verbal dan tulisan tampaknya tak cukup kuat melukiskan ”dinamika” kepolitikan kita sehingga perlu simbolisasi hewani yang aneh-aneh. Belum lama Buya Syafi’i Ma’arif menengarai elite politik kita sekarang ”bermental lele” (Kompas, 2/6). Ikan lele senang berkubang di air keruh karena beroleh banyak makanan. Maknanya, (sebagian) politikus kita sibuk ”cari makan” sendiri ketimbang bekerja tulus demi rakyat. Ungkapan Buya melengkapi tamsil licin bagai belut, binatang sawah lain, dalam caturan politik kita. Terakhir, seorang ketua umum partai ”mengajari” kadernya berlaku layaknya tikus: endus dulu, gigit kemudian.
Jangan lupa, negara kita juga menggaji direktur satwa. Ini bukan bos kebun binatang, tetapi komandan pada instansi kepolisian berjuluk Direktorat Satwa. Tugasnya melatih, merawat dan angon kawanan anjing pelacak penjahat, penyelundup narkoba, dan teroris. Yakin, kalau media meliput soal ini, pasti tidak terjadi pemborongan secara gelap sebelum beredar.
KASIJANTO SASTRODINOMO Pengajar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Pecundang


Harian Kompas 6 Juli lalu di halaman khusus Piala Dunia 2010 menurunkan ulasan yang berjudul ”Suarez, Pahlawan atau Pecundang?”. Tulisan itu mengupas insiden yang terjadi di mulut gawang Uruguay di menit ke-120, saat gelandang Ghana Dominic Adiyiah melakukan sundulan bola ke gawang tanpa dinyana-nyana Luis Suarez melakukan handball dan menghalau bola yang akan melesat ke dalam gawang Uruguay. Suarez pun mendapat ganjaran kartu merah dan diperintahkan keluar dari lapangan. Kesebelasan Ghana memperoleh tendangan penalti akibat tindakan ”curang” Suarez ini. Namun, apa lacur, tendangan penalti ini gagal membuahkan gol dan hanya membentur mistar gawang. Rangkaian kejadian ini membuat Uruguay lolos dari lubang jarum dan Suarez dielu-elukan sebagai pahlawan penyelamat oleh pendukungnya. Namun, tak sedikit pula yang mencap dia sebagai pemain yang curang dan tak menjunjung sportivitas.
Berpijak pada jalan cerita itu, kata pecundang pada judul ulasan tadi bisa kita maknai sebagai ’orang yang melakukan kecurangan demi mencapai tujuannya’. Persoalan yang mengemuka ternyata di dalam wacana masyarakat, kata pecundang mempunyai makna yang multitafsir dan disesuaikan dengan selera pengucapnya. Jadi boleh dibilang kata pecundang ini termasuk salah satu kosakata yang sering salah kaprah dan ”salah asuhan”. Di suatu masa pecundang pernah dikonotasikan dengan ’pengecut’, juga pernah disiratkan dengan ’pengalah’. Di Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa sampai edisi yang kedua, istilah pecundang bahkan tidak tercantum dan hanya ditemukan kata dasar cundang. Cundang di situ punya dua makna. Yang pertama ’hasutan’ dan yang kedua merujuk ke kata kecundang yang diberi makna ’kalah’. Dua makna ini sudah barang tentu tak cocok dan tak mengena menggambarkan perbuatan ”curang” Suarez itu.
Mari membuka Kamus Lengkap Inggeris-Indonesia dan Kamus Indonesia-Inggris susunan Prof Wojowasito dan WJS Poerwadarminta yang memadani kata tjundang (masih dalam ejaan lama) dengan conquered, mischief-making dan kata mentjundang dengan makna ’to make mischief, to cause trouble’ (berbuat onar). Di masa kini pecundang lebih banyak dipadankan dengan kata a loser ’orang yang selalu menemui kegagalan dalam hampir semua kegiatannya’.
Dengan begitu banyak permaknaan yang berkembang, mungkin Pusat Bahasa perlu turun tangan mendudukkan secara wajar kolokasi kata pecundang. Ini belum lagi membahas mengenai imbuhan yang dipadukan dengan pecundang. Apakah sudah benar penulisan istilah dipecundangi yang sering dipakai dalam bahasa surat kabar? Di KBBI (sampai edisi kedua) hanya kita temukan rujukan kata mencundang ’mengeluarkan perkataan yang pedas-pedas yang dapat menyakiti hati orang yang mendengarkannya’, kemudian terkecundang ’kalah biasanya tanpa diduga’, mengecundangi ’mengalahkan’.
Di media berbahasa Inggris ulasan Piala Dunia ini bertajuk ”Suarez, Hero or Villain?”. Kata villain memang sudah pas benar memberi gambaran yang ingin disampaikan karena dalam kamus diartikan kurang lebih sebagai ’orang yang culas (a wicked person)’. KBBI memaknai kata culas dengan ’curang, tidak jujur, tidak lurus hati’. Mungkin lebih mengena apabila kata pecundang ini kita ganti dengan kata peculas sekalipun kata ini belum mendapat ”restu” dari Pusat Bahasa. Namun, ini kiranya tidaklah menabrak kaidah bahasa yang baku karena sudah cukup banyak kata sifat yang digabungkan dengan awalan pe- untuk mengacu pada ’orang yang mempunyai sifat’ seperti pada kata pemalu, pemarah, pemalas, dan seterusnya.
GUSTAAF KUSNO    Pemerhati Bahasa, Tinggal di Palembang

“Endurance”


Final pemilihan Miss Indonesia 2010 tempo hari menarik diberi catatan. Tiga finalis yang diunggulkan sebagai calon miss dan runner up ternyata tidak bisa menjawab pertanyaan berbahasa Inggris yang diajukan pembawa acara. Ketiganya tak paham arti kata endurance yang merupakan inti soal ”ujian akhir” itu. Bukan hal aneh karena pemenang kontes serupa dalam ajang yang lebih besar, Miss Universe dan Miss World, juga tak selalu fasih berbahasa Inggris. Bahkan, panitia memberikan toleransi dengan menyediakan jasa penerjemah.
Mafhumi saja kekurangan putri-putri jelita itu dengan keyakinan bahwa mereka tentu akan belajar lagi jika tak ingin malu berkepanjangan. Justru sikap berbahasa pasangan pembawa acara yang patut disayangkan karena tak tertata semestinya. Kemampuan berbahasa Inggris keduanya jelas prima, tetapi jadi anjlok nilainya ketika molah-malih ke bahasa gaul sekenanya. Sapaan ”kamu” kepada para kontestan, misalnya, jelas bukan pilihan estetika bahasa yang elok untuk acara resmi yang dirancang anggun. Akan terasa indah jika mereka berduet berdwibahasa, Indonesia dan Inggris, secara utuh, baik, dan benar tanpa mengurangi keluwesan.
Nomina endurance yang berarti ”daya tahan”, ”ketahanan”, dan ”kesabaran” boleh jadi jarang muncul dalam percakapan sehari-hari bahasa Inggris di sini. Frase contoh dalam Kamus Inggris-Indonesia Echols-Shadily mengisyaratkan kata itu bertalian dengan tujuan atau situasi tertentu yang kritis. Misal, endurance test atau ujian tentang ketahanan cocok untuk mengukur kekuatan mesin otomotif. Beyond endurance, ”tak tertahankan lagi”, memerikan penderitaan atau kesakitan yang luar biasa. Demikian pula to have great powers of endurance atau ”tabah sekali, memiliki daya tahan yang besar” hanya terasakan mendalam bagi yang (pernah) menderita lahir-batin.
Dalam wacana sosio-humaniora, endurance tepat menakrifkan ketabahan golongan terpinggirkan seperti petani subsisten (istilah James Scott), petani gurem (Sajogyo), massa apung kota (Hans Dieter-Evers), dan mereka yang senasib lainnya. Di pundak dan batin merekalah endurance tertanam kuat untuk menghadapi musim paceklik, banjir, hama, spekulan, dan semacamnya. Dalam situasi seperti itu, endurance bertaut erat dengan subsistence ethic, meminjam istilah Scott, yakni berbagi beban di antara mereka yang didera petaka sebagai ”a consequence of living so close to the margin” (dalam suntingan Teodor Shanin, Peasants and Peasant Societies, 1987).
Menimbang, mengingat, dan memerhatikan kenyataan sosial kita yang masih berkelam kabut kemiskinan, kelaparan, dan bencana, layak rasanya jika ”kuman” endurance terus dibiakkan untuk menumbuhkan optimisme hidup. Tentu harus dibarengi kerja keras para pemimpin mengangkat kaum papa dari kehidupan yang halai-balai. Percayalah, yang mereka perlukan bukan dana aspirasi, melainkan kejujuran dan ketulusan bertindak yang nyata.
Pertanyaan panitia pemilihan Miss Indonesia ihwal ”stamina” tersebut bermakna serius. Di tengah isu kekerasan terhadap perempuan dan gerakan kesetaraan jender yang kian kencang, kata endurance menjadi konsep imperatif bagi miss kinyis-kinyis itu.
KASIJANTO SASTRODINOMO Pengajar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI

Lisan dan Tulisan


”…bahasa pada hakikatnya adalah lisan, bukan tulis,” kata Lie Charlie dalam kolom Bahasa edisi Jumat, 11 Juni 2010. Ini hanya benar secara kronologis. Bahasa memang berevolusi dari lisan ke tulisan, budaya bergerak dari orality ke literacy. Dengan percetakan, teks menjadi makin utama. Kini radio, televisi, dan internet pun hanya bisa ada dan berfungsi dengan tulisan. Tulisan tidak akan ada tanpa lisan, tetapi bahasa tulisan bukan sekadar bahasa lisan yang dituliskan. Hakikat bahasa tidak lagi lisan.
Baik dunia oral maupun literer kaya makna, tetapi ciri dan dampaknya pada proses pikiran manusia, dan sebagai kekuatan pengarah evolusi sosial, sangat berbeda. Bukan hanya itu, sejak tulisan pertama lahir lebih dari 5.000 tahun lalu di Sumeria (Irak Selatan), disusul Mesir, China, dst, dan sampai detik ini, sejarah mencatat bahwa bangsa bertulisan lebih unggul daripada bangsa berlisan saja. Nyatanya, sejarah adalah tulisan. Tulisan adalah cikal-bakal peradaban. Tulisan tinggal, lisan tanggal.
Tulisan jauh lebih akurat, tahan lama, dan efisien dalam melahirkan, menyimpan, memproses, dan memperkembangkan gagasan, sampai yang serumit-rumitnya dan seluas-luasnya. Dari gagasan ke tindakan hanya selangkah. Tanpa tulisan, tidak ada dunia modern, ilmu pengetahuan lambat berkembang, teknologi sebatas sederhana, komunikasi sejauh teriakan, transportasi sekuat tungkai selebar layar. Buta tulisan, biarpun kaya lisan, adalah resep kemiskinan dan ketakberdayaan.
Filsuf Yesuit dan pakar ilmu bahasa, Walter Ong, mendaftarkan beberapa ciri oralitas yang berkontras dengan budaya tulisan. Karena ingatan adalah satu-satunya alat memelihara pengetahuan, dalam dunia lisan kosakata sedikit, tata bahasa sederhana, kata dan konsep diulang-ulang, dan gaya formula umum dipakai, ciri-ciri yang memang masih kental dalam bahasa Indonesia. Formula seperti pantun dan syair misalnya sangat terkenal di dunia Melayu, yang tidak asing dengan pidato, pepatah-petitih, dan silat lidah.
Guru-guru yang hidup dalam dunia lisan selalu menuntut murid-murid menghafal, bahkan menghafal mati, sampai hal-hal yang seremeh-remehnya. Dalam dunia tulisan, hanya hal-hal mendasar yang perlu dihafal. Yang perlu adalah mengasah pemahaman, ketajaman berpikir, kemampuan analitis, abstraksi, dan seterusnya. Dalam lisan yang penting data. Dalam tulisan yang utama olah-data. Akibatnya, lisan itu statis menoleh ke belakang. Tulisan itu dinamis menatap masa depan.
Dunia oralitas juga penuh dengan ungkapan-ungkapan ekspresif seperti adil makmur, aman sentosa, dan lain-lain. Klise memang berkembang dalam dunia lisan. Dengan tulisan, kata-kata dalam ungkapan-ungkapan seperti itu bisa dipecah dan dianalisis sehingga timbul kompleksitas yang merombak dan memperkaya makna. Yang perlu bukan hanya kemampuan baca tulis, melainkan memfungsikan tulisan sebagai instrumen berpikir. Misalnya, hanya dengan tulisanlah bisa dikembangkan daftar, tabel, dan statistik. Bukan berpikir lalu menulis, melainkan menulis sebagai bagian dari proses berpikir canggih.
Tulisan meningkatkan pikiran. Pikiran meningkatkan tulisan. Pemikir adalah penulis.
SAMSUDIN BERLIAN Pemerhati Makna Kata

Balada Ejaan Lama

Cepat atau lambat ejaan lama bahasa Indonesia—sebelum Ejaan yang Disempurnakan (EYD)—bakal tak dikenali lagi oleh generasi sekarang dan mendatang. Gejalanya terlihat di sebuah tempat pembayaran telepon. Di situ petugas loket salah panggil nama pelanggan yang masih tertulis dalam ejaan lama. Sebutlah nama Kasijanto, yang seharusnya diucapkan kasiyanto menurut empunya, dibaca petugas menjadi kasijanto sesuai dengan EYD sehingga diperoleh bunyi janto seperti jantuk (tokoh lenong) pada penggal akhir nama.
Gejala itu berulang beberapa kali di tempat yang berbeda: bank, kantor pos, apotek, dan mungkin masih (akan) terjadi lagi. Kalau begitu, mengapa penulisan nama itu tidak diganti dengan EYD. Tak semudah itu karena akan berkomplikasi dengan dokumen resmi lain, seperti akta kelahiran, kartu tanda penduduk, dan suratan tanda tangan. Ketaksesuaian ejaan nama juga akan merepotkan saat berurusan dengan birokrasi, semisal administrasi kepegawaian. Jadi, berpikir positif saja, ”insiden” kecil itu hanya kesalahpahaman sederhana: petugas nirtakrif ejaan lain, atau merasa asing dengan nama diri yang terdengar tak lazim.
Fakta kecil itu menyiratkan bahwa penerapan EYD mendekati sempurna dalam arti tak menggugah imajinasi orang pada ejaan lain yang berbeda. Di sini masalahnya: kita bersemangat memodernisasi bahasa Indonesia, tetapi cepat lupa akan keragaman yang pernah hidup dalam rahim bahasa itu sendiri. Kita tahu, bahasa Indonesia telah mengarungi enam sistem ejaan: Ejaan van Ophuysen (1901), Ejaan Soewandi atau Ejaan Republik (1947), Ejaan Prijono-Katoppo atau Ejaan Pembaharuan (1957, tak diberlakukan), Ejaan Melindo (1959, batal diresmikan), Ejaan Baru atau LBK (Lembaga Bahasa dan Kesusastraan, sekarang Pusat Bahasa, 1967), dan Ejaan yang Disempurnakan sejak 1972.
Tampaknya generasi kelahiran 1970-an dan seterusnya—seperti beberapa petugas teknis di tempat pelayanan umum itu—tak beroleh informasi cukup tentang varian ejaan bahasa Indonesia semasa sekolah. Petunjuknya cukup jelas: umumnya buku pelajaran Bahasa Indonesia dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi tak mencantumkan riwayat ejaan, sekadar lampiran sekalipun. Pembahasan tentang ejaan ditekankan pada teknik mengeja, seperti penggunaan huruf kecil/besar, tanda baca, pemenggalan kata, dan seterusnya.
Buku pelajaran sejarah yang memuat nama organisasi atau tokoh historis mestinya bisa jadi alternatif untuk mengenalkan ejaan lama kepada siswa. Ternyata tidak juga. Nama tokoh pergerakan nasional yang, sesuai dengan zamannya, tertulis dalam Ejaan van Ophuysen sudah di-EYD-kan. Tjipto Mangoenkoesoemo, misalnya, tertulis Cipto Mangunkusumo dalam sebuah buku pelajaran sekolah dasar (2007), tanpa penjelasan tentang penggunaan ejaan (misalnya dalam pengantar) seperti lazimnya buku teks. Pengalihan ejaan ”nama lawas” ke dalam EYD memang langkah praktis, tetapi seyogianya diberi catatan temali historisnya.
Alih rupa ejaan arkais memang tak perlu ditangisi. Jejaknya diyakini tak bakal lenyap sama sekali dari khazanah bahasa Indonesia. Setidaknya kajian budaya yang menuntut autentisitas teks sebagai sumber, seperti antropologi, arkeologi, filologi dan sejarah, akan merawatnya.
KASIJANTO SASTRODINOMO Pengajar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Lupa Embara


Embara? Kedengarannya asing di telinga kita. Padahal, kata itu sangat sering dipakai dalam rupa berimbuhan: mengembara dan pengembara. Pengembara dapat dipadankan dengan kelana (mengapa harus pengelana?), kata puitis yang sering tersua pada cerita tempo hari. Embara adalah kata asal, tetapi lebih kerap kita jumpai dalam bentuk kembara.
Kita sering lupa dengan asal-usul kata sehingga acap kali menggunakan deretan kata berimbuhan dalam kalimat. ”Pak Ahmad sangat memedulikan anak-anaknya”, padahal kalimat itu dapat ditulis sebagai ”Pak Ahmad sangat peduli anak-anaknya”. Contoh lain: ”Pemerintah memperingatkan agar pelaksanaan peraturan perlalulintasan serta pengawasannya dapat terlaksana dengan melakukan penataan birokrasi kepolisian.” Terlalu banyak kata berimbuhan. Tentu saja kalimat semacam itu tak mudah dicernakan, selain tak terang-benderang. Kenapa bukan: ”Pemerintah ingatkan agar laksana peraturan lalu lintas serta awasannya dilakukan dengan tataan birokrasi kepolisian” saja? Dalam hal ini, apa beda arti pelaksanaan dengan laksana, pengawasan dengan awasan, atau antara memperingatkan dengan ingatkan? Begitu pula antara penataan dengan tataan?
Kata kembara memang lebih dihargai di Malaysia. Juga Brunei. Ia sering digunakan tidak hanya dalam bentuk cerita, tetapi juga dalam lirik lagu. Di Indonesia paling Titik Hamzah, pencipta lagu, yang menggunakan kata ini dalam karyanya, ”Kembara di Tepi Senja”, yang masuk tiga besar dalam Festival Lagu Populer Tingkat Nasional 1981.
Adalah Aishah, penyanyi Malaysia sekelas Berlian Hutauruk di sini, yang membawakan nyanyian liris: Tiada kata secantik bahasa/kan ku puji kakanda/Tiada gambar secantik lukisan/kan ku tunjukkan perasaan; kakak puspa kemala/mengharum jiwa/ mm.. kakak puspa kemala/mustika dinda/Namun musim berubah/suasana berubah/tapi ikatan mesra/sedikitpun tak berubah/Tiada kata secantik bahasa/ku puji kakanda.
Jangan bayangkan lagu itu di zaman P Ramlee. Aishah menyanyikannya dengan langgam jazz-tango, enak diikuti, dan dibawa ke kalbu. Bandingkan dengan lirik lagu-lagu pop kita yang miskin makna selain mengada-ada kata.
Ada apa dengan puspa, kemala, mustika, atau kakanda sekalipun? Bukankah itu kata-kata berpangkal dari sini? Banyak sekali kata milik kita yang dilupakan, tetapi diserap oleh Malaysia? Malukah bila kita tuding mereka telah membajak milik kita? Seakan lagu itu menyindir tiada kata secantik bahasa? Malaysia memanfaatkan betul forum Majelis Bahasa Brunei Indonesia dan Malaysia yang telah lama ada dan selalu bersidang secara berkala untuk mengembangkan bahasa.
Siapakah yang dapat disalahkan? Televisi? Mungkin. Zaman? Memang karut-marut. Budaya? Memang menurun. Lihatlah siaran televisi, anggota DPR, atau adab berlalu lintas. Mungkin banyak yang kita salahkan. Saya hanya ingin mencatat satu hal: tidakkah perlu meningkatkan peran Pusat Bahasa, lembaga di bawah Kementerian Pendidikan Nasional? Di Malaysia yang menangani urusan ini adalah Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP). Institusi itu berpengaruh atas bahasa dan penerbitan. Ia berwenang dan proaktif soal bahasa, semantik, dan produksi kata (penerbitan). Media massa patuh dan merujuk pada buku panduan yang dikeluarkan DBP. Kita? Media massa dengan segala lagaknya leluasa memproduksi kata yang lalu ditelan orang banyak. Peran Pusat Bahasa? Ia seperti lemah syahwat karena tidak diperhatikan.
Zulhasril Nasir Pengamat Komunikasi, Pusat Tamadun Melayu UI

Bahasa dan Kematian


Muslim menyebut Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun (Quran 2:156, ”Sungguh, kita adalah milik Allah, dan kepadaNya kita kembali”—terjemahan HB Yassin) bila mendengar tentang kematian seseorang. Ketika kemalangan tiba, seorang Muslim berserah kepada Allah dan bersyukur atas segala apa yang dia terima, pahit sekalipun, dan tetap bersabar.
Kristen Katolik umum memajang RIP (Requiescant in pace ”semoga dia (mereka) beristirahat dalam damai”) di batu nisan. Ini bagian dari doa penguburan: Anima eius et animae omnium fidelium defunctorum per Dei misericordiam requiescant in pace ”semoga jiwanya dan jiwa-jiwa orang beriman yang sudah meninggal beristirahat dalam damai karena belas kasih Tuhan”.
Kristen Protestan biasanya mengutip ungkapan ”pulang ke rumah Bapa” mengikuti ucapan Yesus dalam Yohanes 14:2, ”Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu”.
Bagi Buddhis, kematian adalah kelanjutan hidup ini, suatu titik berangkat baru, bergantung pada karma atau kamma (sebab yang menentukan vipaka atau akibat dalam prinsip universal kausalitas), menuju entah nirwana (damai sempurna, tanpa-duka, tanpa-reinkarnasi) atau kelahiran kembali di dunia ini, serta merupakan peringatan bagi semua manusia akan kefanaannya.
Di Bali Hindu, Ngaben atau Pitra Yadnya, upacara suci untuk arwah manusia yang sudah meninggal, mempercepat pengembalian jasad lewat meralina (kremasi) kepada Pancamahabhuta atau lima unsur alam: akasa (eter), bayu (udara), teja (api), apah (air), dan pertiwi (tanah).
Tradisi dan ungkapan berbeda tentulah biasa di Nusantara beratusan suku bangsa dengan budaya bermacam ragam. Segala upaya menjunjung harmoni, tenggang rasa, solidaritas, dan kerukunan justru baru punya arti dalam konteks kepelbagaian itu. Namun, pada akhirnya yang berlaku bukanlah ”maut menyetarakan yang tinggi dan yang rendah” melainkan ”sampai maut memisahkan kita”.
Tiada cermin lebih paripurna yang menampilkan keterpisahan manusia beragama daripada kompleks perkuburan di Indonesia. Kapling-kapling kuburan yang dipilah-pilah berdasarkan agama membuktikan kebersatuan parsial pemeluk agama dan keterpisahan global umat manusia. Mereka lebih nyaman hidup dan mati dalam kelompok-kelompok kebenaran daripada dalam kemanusiaan universal. Tidak ada rasionalisasi atau apologetika yang bisa menyembunyikan kebenaran ini—bahwa manusia Indonesia lebih menjunjung keyakinannya daripada kemanusiaannya.
Dialog antarkeyakinan tak putus-putus (baru saja Indonesia mengirim delegasi untuk mengikuti dialog antariman di Madrid, Spanyol), toh masing-masing akan menuju pelabuhan kekal berbeda. Paling tidak, dalam perjalanan terakhir, masing-masing menuju kapling kuburan atau tempat kremasi berbeda.
Mungkin sebenarnya yang dianut sebagian besar orang Indonesia adalah bahwa ada aneka surga dan nirwana, tetapi satu neraka.
SAMSUDIN BERLIAN Peminat Semantik

Gelar Diplomatik

Sekali peristiwa seorang diplomat Indonesia menelepon rekannya sesama diplomat, ”Aku sekarang sudah counsellor, lo. Kamu bagaimana?” Dari seberang telepon rekannya menjawab, ”Oh, selamat, ya, aku sendiri masih sekretaris I.”
Percakapan dua diplomat itu menunjukkan bahwa diplomat yang satu telah naik gelar diplomatiknya menjadi counsellor, sedangkan diplomat yang satunya lagi masih sekretaris I, satu tingkat di bawah counsellor.
Gelar diplomatik memang agak asing bagi mereka yang tidak mengetahui seluk-beluk gelar atau pangkat diplomat. Seseorang secara resmi menyandang status diplomat bila telah memenuhi beberapa syarat tertentu, seperti pendidikan akademis dan pendidikan khusus diplomat yang harus diikuti oleh calon diplomat untuk menjadi diplomat. Di Indonesia diplomat karier dibina dan dididik oleh Kementerian Luar Negeri.
Bila seseorang sudah lulus dari pendidikan khusus diplomat, maka sejak saat itulah ia berstatus sebagai pejabat diplomatik/diplomat dan memperoleh gelar diplomatik di samping pangkat/golongan-ruang sebagai pegawai negeri sipil.
Tingkatan gelar diplomatik berlaku sama di dunia internasional: delapan jenjang. Dalam bahasa Indonesia gelar diplomatik paling tinggi hingga paling rendah adalah duta besar, minister, minister counsellor, counsellor, sekretaris I, sekretaris II, sekretaris III, dan atase. Dapat kita lihat bahwa sebagian istilah gelar masih dalam bahasa asing: counsellor, minister counsellor, dan minister; sedangkan jenjang gelar lainnya sudah dibahasa-indonesiakan, yakni atase (berasal dari kata atache), sekretaris III (third secretary), sekretaris II (second secretary), sekretaris I (first secretary), dan duta besar (ambassador).
Mungkin tak mudah bagi pemerintah mencari terjemahan yang tepat sesuai dengan status, lingkup, dan tugas diplomat untuk istilah yang masih asing tadi. Sebagai perbandingan, seorang diplomat Malaysia pernah menerangkan kepada saya bahwa di Malaysia gelar diplomat sudah dibahasa-malaysiakan semua. Counsellor adalah penasihat, minister counsellor adalah penasihat menteri, dan minister adalah menteri. Memang terasa aneh, bukan? Namun, bagi Malaysia, istilah yang sudah dimalaysiakan tersebut bukan hal yang aneh lagi.
Bagi Indonesia, istilah penasihat sebagai terjemahan counselor tidak begitu asing. Namun, istilah penasihat menteri untuk minister counsellor, dan menteri untuk minister memang tepat secara harfiah, tetapi bila digunakan dalam khazanah diplomatik tentu saja terasa rancu dengan istilah menteri yang mengingatkan kita pada jabatan menteri dalam kabinet.
Pernah ada pikiran menggunakan istilah penasihat untuk counsellor (sama dengan Malaysia), penasihat utama untuk minister counsellor, dan duta untuk minister. Istilah duta di sini berstatus lebih rendah satu tingkat dengan duta besar sebagai kepala perwakilan setingkat KBRI. Namun, sejauh ini wacana itu belum dianggap pas oleh kalangan diplomat Indonesia.
Demikianlah, hingga kini istilah counsellor, minister counsellor, dan minister masih dipakai dalam tata persuratan atau laporan diplomatik dalam bahasa Indonesia. Bisakah pakar bahasa kita mencarikan istilah Indonesia yang tepat untuk sebutan itu?
Pramudito Mantan Diplomat